Cari Blog Ini

Laman

Selasa, 31 Mei 2011

Infeksi Jamur

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pada skenario 2 Blok Kulit terdapat seorang laki-laki, 45 tahun, pekerjaan supir angkutan yang bekerja dari pagi hingga sore, mengeluh gatal pada kedua lipat paha. Keluhan dirasakan sejak 3 minggu yang lalu. Keluhan tersebut didahului munculnya bercak kemerahan yang semakin melebar. Rasa gatal terutama dirasakan saat berkeringat atau beraktifitas. Rasa sangat gatal ini oleh pasien sering digaruk hingga kulitnya lecet dan pedih. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan plakat eritematosa, skuama, papul, bagian tepi aktif dengan central healing. Dilakukan pemeriksaan kerokan lesi kulit dengan KOH 10% ditemukan hifa dan spora. Oleh dokter diberikan obat anti jamur topical dan oral. Pasien dianjurkan menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Pada pembelajaran KBK-PBL (Kurikulum Berbasis Kompetensi–Problem Based Learning), skenario dalam tutorial diharapkan dapat menjadi trigger atau pemicu untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar biomedis dan klinik sesuai dengan sasaran pembelajaran yang sudah ditetapkan. Sasaran pembelajaran yang telah ditentukan antara lain: mampu menjelaskan berbagai jenis Ujud Kelainan Kulit (UKK), jenis pemeriksaan kulit dan interpretasinya, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis penderita.
Berdasarkan hal di atas, penulis berusaha untuk mencapai dan memenuhi sasaran pembelajaran tersebut selain melalui tutorial tetapi juga melalui penulisan laporan ini. Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran mahasiswa yang bersangkutan dan bahan evaluasi sejauh mana pencapaian sasaran pembelajaran yang sudah didapatkan.

THT

BAB II
STUDI PUSTAKA

A.    ANATOMI - FISIOLOGI FARING
Faring adalah suatu kantung fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus faucium, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus pharyngeus, dan ke bawah berhubungan esofagus.

Abortus Iminens

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Perdarahan selama kehamilan dapat dianggap sebagai suatu keadaan akut yang dapat membahayakan ibu dan anak, sampai dapat menimbulkan kematian, sebanyak 20% wanita hamil pernah mengalami perdarahan pada awal kehamilan dan sebagian mengalami abortus. Hal ini tentu akan menimbulkan masalah bagi wanita seperti tekanan psikologis dan masalah kesehatan lainnya, sehingga ditinjau dari berbagai aspek, keadaan ini harus ditangani secara cepat, tepat, dan sesuai dengan kondisi pasien. (Anonim, 2007)

Penyuluhan Penyakit Menular Seksual (PMS)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks. Penyakit menular seksual akan lebih beresiko bila melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal. PMS dapat menyebabkan infeksi alat reproduksi yang harus dianggap serius. Bila tidak diobati secara tepat, infeksi dapat menjalar dan menyebabkan penderitaan, sakit berkepanjangan, kemandulan dan bahkan kematian. Wanita  lebih beresiko untuk terkena PMS lebih besar daripada laki-laki sebab mempunyai alat reproduksi yang lebih rentan. Dan seringkali berakibat lebih parah karena gejala awal tidak segera dikenali, sedangkan penyakit melanjut ke tahap lebih parah.Oleh karena letak dan bentuk kelaminnya yang agak menonjol, gejala PMS pada laki-laki lebih mudah dikenali, dilihat, dan dirasakan. Sedangkan pada perempuan sebagian besar gejala yang timbul hampir tak dapat dirasakan.

Urologi

ANATOMI TESTIS
Testis merupakan organ yang berperan dalam proses reproduksi dan hormonal. Fungsi utama dari testis adalah memproduksi sperma dan hormon  androgen terutama testosteron. Sperma dibentuk di dalam tubulus seminiferus yang memiliki 2 jenis sel yaitu sel sertoli dan sel spermatogenik. Diantara tubulus seminiferus inilah terdapat jaringan  stroma tempat dimana sel leydig berada. 

Sistem Pencernaan

A.    ANATOMI DAN EMBRIOLOGI APENDIKS
Sistem digestif yang secara embriologi berasal dari midgut meliputi duodenum distal muara duktus koledukus, usus halus, sekum dan apendiks, kolon asendens, dan ½ sampai ¾ bagian oral kolon transversum. Premordium sekum dan apendiks Vermiformis (cecal diverticulum) mulai tumbuh pada umur 6 minggu kehamilan, yaitu penonjolan dari tepi antimesenterium lengkung midgut bagian kaudal. Apendiks mengalami pertumbuhan memanjang dari distal sekum selama kehamilan. Selama masa pertumbuhan bayi, terjadi juga pertumbuhan bagian kanan-depan sekum, akibatnya apendiks mengalami rotasi kearah postero-medial dan menetap pada posisi tersebut yaitu 2,5 cm dibawah katup ileosekal, sehingga pangkal apendiks di sisi medial. Organ ini merupakan organ yang tidak mempunyai kedudukan yang menetap didalam rongga abdomen. Posisi apendiks retrosekal paling banyak ditemukan yaitu 64% kasus.

Ventricular Septal Defect (VSD)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa sejak lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung sudah lengkap; jadi kelainan pembentukan jantung terjadi pada awal kehamilan. Penyebab PJB seringkali tidak bisa diterangkan, meskipun beberapa faktor dianggap berpotensi sebagai penyebab. Faktor-faktor ini adalah: infeksi virus pada ibu hamil (misalnya campak Jerman atau rubella), obat-obatan atau jamu-jamuan, alkohol. Faktor keturunan atau kelainan genetik dapat juga menjadi penyebab meskipun jarang, dan belum banyak diketahui. Misalnya sindroma Down (Mongolism) yang acapkali disertai dengan berbagai macam kelainan, dimana PJB merupakan salah satunya. Merokok berbahaya bagi kehamilan, karena berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi dalam kandungan sehingga berakibat bayi lahir prematur atau meninggal dalam kandungan.

Pneumonia

Definisi
Pneumonia adalah penyakit pernafasan akut yang menyebabkan perubahan gambaran radiologis. Penyakit ini dikelompokkan berdasarkan tempat terjadinya penularan. Secara garis besar dikelompokkan menjadi 2 yaitu pneumonia yang didapatkan di masyarakat (Pneumonia Komunitas / PK) dan pneumonia yang didapatkan di rumah sakit ( Pneumonia Nosokomial / PN).

Asma Bronkial

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Paru dan saluran nafas merupakan organ yang mempunyai fungsi untuk menghirup oksigen dari atmosfer dan mengeluarkan karbon dioksida dari dalam tubuh. Dalam melakukan fungsinya ini, paru selalu terpapar oleh berbagai benda asing di antaranya mikroorganisme. Supaya fungsi ini berjalan lancar dan demi mantapnya ketahanan paru, tubuh mengerahkan alat-alat pertahanan baik non spesifilc maupun spesifik sehingga tidak mengherankan pada orang normal saluran nafas bagian bawah tetap steril. Banyak faktor yang diketahui bisa menyebabkan gangguan pertahanan ini, di antaranya yang sering adalah infeksi saluran nafas atas, merokok, alergen dan penyakit paru obstruktif menahun (PPOM). Dengan terganggunya kestabilan paru dan saluran nafas, ditambah dengan adanya pemaparan mikroorganisme, zat yang dianggap asing oleh tubuh maka fungsi respirasi tubuh manusia akan ikut terganggu. Sehingga akan menimbulkan manifestasi klinis penyakit pernafasn antara lain: batuk, sputum, hemoptisis/batuk darah, dispneu/sesak nafas, wheezing.(Price dan Lorraine, 2005)

Muskuloskelet

ANATOMI DAN FISIOLOGI SENDI
Sendi adalah tempat pertemuan dua atau lebih tulang. Tulang bisa dipadukan dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligament, tendon, fasia, atau otot (Price and Lorraine, 2006). Ada 2 komponen biokimiawi dari sendi, yaitu sel tulang rawan (kondrosit) dan matriks sel. Tulang rawan sendi hanya memilki satu sel spesialis yang berperan dalam sintesis dan pemeliharaan matriks ekstraseluler yang dikenal sebagai kondrosit. Kondrosit ini nantinya akan mengahsilkan matriks-matriks ekstraseluler. Matriks ekstraseluler ini berupa kolagen dan proteoglikan. Kolagen terbanyak dlaam sendi adalah kolagen tipe II yang berfungsi memberikan kekuatan pada sendi sedangkan proteoglikan berfungsi dalam memberikan elastisitas dari sendi (Isbagyo, 2007). Secara umum, ada 3 tipe sendi, yaitu sendi fibrosa, kartilaginosa, dan sinovial.
1.      Sendi Fibrosa (Sinartrodial)
Sendi fibrosa  merupakan sendi yang tidak dapat bergerak dimana tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu dengan yang lanilla dihubungkan oleh jeringan kyat fibrosa. Terdapat dua tipe sendi fibrosa, yaitu sutura dan sindesmosis
2.      Sendi Kartilaginosa (Amfiarthrodial)
Sendi cartilaginosa merupakan sendi yang dapat sedikit bergerak. Ujung-ujung dari sendi ini dibungkus oleh ligamen. Terdapat dua tipe sendi cartilaginosa, yaitu sinkondrosis, merupakan sendi-sendi yang seluruh persendiannya diliputi oleh tulang rawan hialin dan simfisis, merupakan sendi yang tulang-tulangnya memilki statu hubungna fibrocartílago antara tulang tipis dan rawan hialin yang menyelimuti permukaan sendi.
3.      Sendi Sinovial (Diartrodial)
Sendi sinovial hádala sendi-sendi tubuh yang dapat digerakkan. Sendi-sendi ini memiliki rongga sendi dan permukaan sendi dilapisi rawan hialin. Kapsul sendi terdiri dari selaput penutup fibrosa padat, statu lapisan dalam yang terbentuk dari jeringan kyat dengan pembuluh darah yang banyak, dari sinovium, yang membentuk statu kantung yang melapisi seluruh sendi dan membungkus tendon-tendon yang melintasi sendi.
Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental membasahi permukaan sendi. Cairan sinovial normalnya bening, tidak membeku, dan tidak berwarna atauberwarna kekuningan. Asam hialuronidase hádala senyawa yang bertanggungjawab atas viskositas cairan sinovial. Kartilago hialin menutupi bagian tulang yang menanggung beban tubuh pada sendi sinovial. Rawan ini tersusun atas koalgen tipe II dan proteoglikan yang dihasilkan oleh sel tulang rawan. Kartilago sendi pada orang dewasa tidak mendapat aliran darah, limfe, atau persarafan.
(Price and Lorraine, 2006)

ANATOMI DAN FISIOLOGI PINGGANG
Struktur penting yang membentuk tulang pinggang adalah tulang belakang (vertebra), sendi-sendi tulang belakang, ligamentum, serat saraf, organ dalam perut dan pelvis serta kulit yang menutupi daerah pinggang. Seacar anatomik, pinggang adalah daerah dari vertebrae Lumbal I sampai seluruh os sacrum.
Kolumna vertebralis terdiri dari korpus pada bagian anteriornya dan arcus pada bagian posteriornya serta terdiri dari serangkaian sendi diantara korpus vertebra yang berdekatan, sendi lengkung vertebra, sendi kostovertebra, dan sendi sakroiliaka. Ligamnetum merupakan jaringan ikat yang sangat kuat guna memegang tulang belakang agar tidak terlepas satu dengan lainnya. Ligamnetum longitudinal dan discus antarvertebra menyatukan korpus-korpus vertebra yang berdekatan.
Di antara dua korpus vertebra yang berdekatan, dari vertebra servikalis II sampai vertebra sakralis, terdapat discus antarvertebra. discus ini membentuk suatu sendi fibrokartilaginosa yang tangguh antara korpus vertebra. discus ini terdiri terdiri dari 2 bagian, yatu nucleus pulposus di bagian tengah dan annulus fibrosus yang mengelilinginya. discus dipisahkan dari tulang di atas dan dibawahnya oleh dua lempeng tulang rawan hialin yang tipis. Nukleus pulposus adalah bagian sentral semigelatinosa discus. Struktur ini mengandung berkas-berkas serat kolagenosa, sel jaringan ikat, dan sel tulang rawan. Bahan ini berfungsi sebagai perdeam kejut dan pertukaran cairan antara diskus dengan kapiler. Sedangkan annulus fibrosus terdiri dari cincin-cincin fibrosa konsentrik yang mengelilingi nukleus pulposus. fungsinya agar dapat terjadi gerakan antara korpus-korpus vertebra.
(Price and Lorraine, 2006)

PENYEBAB LBP
1.      Peregangan tulang pinggang (akut, khronis)
Peregangan tulang pinggang adalah cidera regangan pada ligamentum, tendon dan otot pinggang. Regangan akan menyebabkan luka yang sangat kecil pada organ tersebut. Cidera yang paling sering menjadi biang kerok dari nyeri pinggang ini, disebabkan oleh beberapa hal antara lain, pergerakan yang berlebihan, pergerakan yang tidak benar atau trauma. Disebut akut bila keadaan ini berlangsung dalam beberapa hari atau minggu, dan disebut khronis bila keadaan ini berlangsung lebih dari 3 bulan.
Peregangan tulang pinggang sering terjadi pada orang yang berumur diatas 40 tahun. Terkadang keadaan ini bisa menyerang tanpa batasan usia. Gejala yang timbul dari keadaan ini antara lain adanya rasa tidak nyaman atau nyeri pada pinggang setelah pinggang mengalami tekanan mekanis. Derajat nyeri sangat tergantung dari seberapa banyak otot yang mengalami cidera.
Diagnosis peregangan pinggang ditegakan melalui wawancara untuk mengetahui riwayat trauma yang terjadi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan rontgen. Penanganan nyeri pinggang oleh karena peregangan yang paling utama adalah mengistirahatkan pingang agar tidak terjadi cidera ulangan. Obat obatan diperlukan untuk meredakan nyeri dan melemaskan otot yang kaku. Bisa pula dilakukan pemijatan, penghangatan dan penguatan otot pinggang, namun tetapi harus dilakukan secara hati hati.
2.      Iritasi saraf
Serat serat saraf yang terbentang sepanjang tulang belakang dapat mengalami iritasi oleh karena pergeseran mekanis atau oleh penyakit. Keadaan ini termasuk penyakit diskus lumbar (radikulopathy), gangguan tulang, dan peradangan saraf akibat infeksi virus. Radikulopathy lumbar adalah iritasi saraf yang disebabkan oleh karena rusaknya diskus antara tulang belakang. Kerusakan ini terjadi akibat dari adanya degenerasi dari cincin luar diskus, dan trauma atau kombinasi antara keduanya.  
Penanganan penyakit ini memerlukan pengobatan konservatif dengan obat obatan atau bila keadaan parah bisa dilakukan tindakan pembedahan.
3.      Kondisi tulang dan sendi
Kondisi tulang dan sendi yang bisa menyebabkan nyeri pinggang antara lain gangguang kongenital (bawaan), gangguan akibat proses degeneratif dan peradangan yang terjadi pada sendi.

Penyebab lain dari nyeri pinggang antara lain :
1.      Gangguan ginjal
Gangguan ginjal yang sering dihubungkan dengan nyeri pinggang antara lain infeksi ginjal, batu ginjal, dan perdarahan pada ginjal akibat trauma. Diagnosa ditegakan berdasarkan pemeriksaan kencing, dan pemeriksaan radiologi.
2.      Kehamilan
Wanita hamil sering mengalami nyeri pinggang sebagai akibat dari tekanan mekanis pada tulang pinggang dan pengaruh dari posisi bayi dalam kandungan. 
3.      Masalah pada organ peranakan
Beberapa masalah pada organ peranakan perempuan yang dapat menimbulkan nyeri pinggang antara lain kista ovarium, tumor jinak rahim dan endometriosis.
4.      Tumor
Nyeri pinggang bisa pula disebabkan oleh karena tumor, baik tumor jinak maupun ganas. Tumor dapat terjadi lokal pada tulang pinggang atau terjadi di tempat lain tetapi mengalami metastase atau penyebaran ke tulang pinggang. 

Referensi:

Isbagyo, Harry. 2007. Struktur dan Biokimia Tulang Rawan Sendi. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.

Price, Sylvia Anderson and Lorraine McCarty Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC.

Osteomyelits Hematogenous Akut
Penatalaksanaan yang tepat segera setelah onset osteomyelitis hematogenous akut dapat memperkecil morbiditas. Operasi dan penanganan antibiotik merupakan penatalaksanaan terpenting dan pada beberapa pasien, dengan pemberian antibiotik saja dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Pemilihan antibiotik berdasar pada aktivitas bakteriosidal yang terkuat, toksisitas yang paling rendah, dan pertimbangan sosioekonomi.
Telah lama diketahui bahwa abses yang meluas membutuhkan drainase operatif. Akan tetapi, daerah peradangan ringan tanpa pembentukan abses dapat ditangani hanya dengan antibiotik. Pada tahun 1983 Nade menjelaskan mengenai lima prinsip dasar penanganan osteomyelitis hematogenous akut yang masih dapat diterapkan hingga saat ini: (1) Pemberian antibiotik yang tepat akan efektif sebelum pembentukan pus; (2) antibiotik tidak dapat mensterilkan jaringan yang tidak memiliki vaskularisasi atau abses dan daerah tersebut membutuhkan penanganan operatif; (3) Jika operasi berhasil, maka antibiotik sebaiknya diberikan untuk mencegah pembentukan ulang dan jahitan luka primer harus terjamin aman; (4) operasi sebaiknya tidak merusak tulang atau jaringan lunak yang iskemik; (5) antibiotik sebaiknya tetap diberikan setelah infeksi.
Pasien dengan osteomyelitis hematogenous akut sebaiknya mendapatkan perawatan supportif standar termasuk pemberian cairan intravena, analgetik yang tepat, dan penempatan tungkai atau ekstremitas yang terkena yang nyaman. Pemeriksaan berkala yang rutin sebaiknya dilakukan. Jika abses yang membutuhkan drainase operatif tidak ditemukan dengan aspirasi sum-sum tulang atau subperiosteal, maka pemberian antibiotik intravena berdasarkan pewarnaan gram diberikan. Antibiotik dengan spektrum yang sempit khusus untuk bakteri penyebab sebaiknya diberikan jika pewarnaan gram negatif, dan keadaan pasien tetap dimonitor. Kadar CRP serum sebaiknya diperiksa 2 – 3 hari setelah pemberian awal antibiotik. Jika dalam waktu 24 hingga 48 jam, tidak ada respon klinis yang bermakna terhadap pemberian antibiotik, maka abses yang tak terlihat sebaiknya dicari dan drainase operatif dipertimbangkan. Terdapat dua indikasi utama untuk operasi pada osteomyelitis hematogenous akut yaitu (1) keberadaan abses yang membutuhkan drainase dan (2) keadaan pasien tidak membaik walaupun telah diberikan antibiotik yang tepat.
Tujuan dari operasi adalah untuk drainase rongga abses dan membuang seluruh jaringan nekrotik. Ketika abses subperiosteal ditemukan pada bayi, beberapa lubang kecil sebaiknya dibuka melalui korteks hingga mencapai kanal meduller. Jika pus intrameduller ditemukan, maka sedikit bagian dari tulang diangkat. Kulit kemudian ditutup dengan longgar dan pada tungkai diberikan splint. Tungkai tersebut dijaga selama beberapa minggu agar terhindar dari fraktur patologis. Antibiotik intraavena sebaiknya diberikan setelah operasi. Durasi dari terapi antibiotik kontroversial, akan tetapi, saat ini cenderung mengarah pada terapi antibiotik yang semakin pendek, diikuti dengan antibiotik oral dan pengawasan kadar antibiotik serum. Hal ini sebaiknya ditentukan berdasar pada kebutuhan tiap individu dan dengan konsultasi dari ahli penyakit infeksi.
Setelah operasi dilakukan, splint tungkai posterior panjang diberikan pada tungkai dalam posisi anatomis, tumit dengan posisi 90 derajat dan jika pada siku dengan fleksi 20 derajat. Setelah luka telah sembuh, splint dilepas dan pasien diminta menggunakan tongkat bantu.
Pasien di follow up selama 1 tahun dengan pemeriksaan radiologik.

Osteomyelitis Kronik
Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi untuk osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi. Tujuan dari operasi adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang yang viable dan bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan tingginya angka rekurensi pada osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada osteomyelitis tulang tengkorak. Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani untuk mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan instabilitas tulang.
Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak maupun tulang perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari bakteri penginfeksi dan terapi antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah perencanaan yang baik dan identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan radiography polos, sinography, CT dan MRI. Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli infeksi dan untuk fase rekonstruksi, diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai skin graft, flap muskuler dan myocutaneus.
Durasi pemberian antibiotik post-operasi masih kontroversi. Pada umumnya, pemberian antibiotik intravena selama 6 minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis kronik. Swiontkowski et al melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya 1 minggu pemberian antibiotik intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik oral selama 6 minggu. Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat menginfeksi ulang. Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena bur. Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi antibiotik.
Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih untuk penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft, tetapi sering kali membutuhkan transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan bebas yang tervaskularisasi untuk menutup segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle flaps ini memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu penyembuhan tulang dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas tulang harus di capai dengan bone graft untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous dengan transfer tulang yang bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara tehnis dibutuhkan bone graft tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang sebelumnya tidak memiliki vaskularisasi .

Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)
Klemm dan investigator lainnya melaporkan hasil yang cukup baik dengan penggunaan antibiotik PMMA untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Rasionalisasi untuk penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan antibiotik kadar tinggi secara lokal dengan konsentrasi yang melampaui konsentrasi inhibitorik minimal. Penelitian farmakokinetik telah menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik lokal yang diperoleh mencapai 200 kali lebih tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik. Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan dalam hal memperoleh antibiotik dengan konsentrasi sangat tinggi sementara menjaga kadar toksisitas dalam serum dan sistemik tetap rendah.
Antibiotik berasal dari PMMA bead ke dalam luka hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport. Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer; jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik telah di debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang.
Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA bead. Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA bead; vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon, tetrasiklin, polymixin B dirusak selama proses exothermik pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis antibiotik tersebut tidak dapat digunakan.2,16
Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat dilakukan. Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama, dan pada implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al melaporkan hasil yang bagus pada 17 pasien dengan implantasi permanen antibiotik PMMA bead. Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam faktor. Kadar bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah impantasi dan setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap benda asing dan merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx. PMMA juga terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu beberapa jenis sel imun yang fagositik. Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam interval 72 jam dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup.

INFLAMASI
            Antigen diproses oleh APC kemudian dipresentasikan oleh determinan HLA sehingga antigen diikat oleh reseptor sel T pada permukaannya. Terbentuk kompleks trimolekuler yang mencetuskan rangkaian reaksi imunologik dengan pelepasan sitokin (IL-1, IL-2) sehingga terjadi aktivasi sel T yang juga menghasilkan limfokin dan mediator inflamasi. Kemudian makrofag akan memfagositosis dan merangsang proliferasi sel B untuk memproduksi antibodi. ( Hasil fagositosis antigen berupa PUS)
            Antibodui akan mengikat antigen membentuk kompleks imun yang akan mengendap pada organ target sehingga terjadi aktivasi sel radang dan terjadi proses fagositosis serta pembebasan metabolit asam arakidonat, radikal oksigen bebas, dan enzim protease yang akan mengakibatkan kerusakan organ target tersebut   à stimulus nosireseptor  à NYERI
            Kompleks imun juga mengaktivasi sistem komplemen dan membebaskan kompinen aktif seperti C3a dan C5a  yang dapat merangsang sel mast dan trombosit lalu membebaskan amina vasoaktif sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabelitas vaskuler à KEMERAHAN

(sumber: IPD UI jilid II)



Neuro

KESEMUTAN
Kesemutan merupakan istilah klinis untuk parestesia yang merupakan suatu kelainan somestesia. Ada 5 golongan dari patofisiologi somestesia, yaitu anestesia (hilang perasaan kalau dirangsang), hiperestesia (perasaan terasa berlebihan jika dirangsang, parestesia (perasaan yang timbul secara spontan, tanpa adanya perangsangan), nyeri, dan gerakan yang canggung serta simpang siur. Parestesia merupakan gangguan sensorik negatif yang disebut dengan defisit neurologik. Pada kasus CVD (cerebrovascular disease, bila terjadi sumbatan di arteri cerebri media yang memvaskularisasi daerah precentralis (pusat motorik) dan postcentralis (pusat sensorik) menyebabkan kedua daerah tersebut kekurangan aliran sehingga terjadi infark serta menyebabkan gangguan pada pusat motorik sensorik. Hal tersebut menyebabkan kelumpuhan dan defisit sensorik kontralateral (Mardjono dan Priguna, 2003).

BICARA PELO
Nervus hipoglosus berinti di nukleus hipoglosus yang terletak di samping bagian dorsal dari fasikulus longitudinalis medialis pada tingkat kaudal medula oblongata. Pada perjalanannya menuju lidah, nervus ini melewati arteria karotis interna dan eksterna. Otot-otot lidah yang menggerakan lidah terdiri dari muskulus stiloglosus, hipoglosus, genioglosus longitudinalis inferior dan genioglosus longitudinalis superior di persarafi oleh nervus hipoglosus. Lesi nervus hipoglosus sering terletak di perifer, maka atrofi otot cepat terjadi. Pada kelumpuhan paralisis nervus hipoglosus terdapat gejala-gejala berupa sukar menelan dan bicara pelo. Namun bicara pelo juga dapat terjadi walaupun lidah tidak lumpuh tetapi keleluasaannya terbatas karena frenula lingua mengikat lidah sampai ujungnya (Mardjono dan Priguna, 2003)..
Pelo dapat diartikan sebagai cara berbicara dengan lidah yang lumpuh. Untuk dapat mengucapkan kata-kata sebaik-baiknya, sehingga bahasa yang disengar dapat ditangkap dengan jelas dan setiap suku kata dapat terdengar secara terinci, maka muluit, lidah, vivir, palatum mole dan pita suara serta otot-otot pernafasan harus melakukan gerakan tangkas sesempurna-sempurnanya. Bila ada salah satu gerakan tersebut yang terganggu, maka timbullah cara berbahasa (verbal) yang kurang jelas. Kelainan tersebut bisa disebut sebagai gangguan artikulasi atau disartria (Mardjono dan Priguna, 2003)..
Pada disartria hanya pengucapannya saja yang terganggu tetapi tata bahasanya baik. Disartria emeiliki beberapa penyebab. Disartria UMN yang berat timbal akibat lesi UMN bilateral, seperti pada paralisis pseudobulbaris. Di situ lidah sukar dikeluarkan dan umumnya kaku  untuk digerakkan ke seluruh jurusan. Lesi UMN lain yang bisa menimbulkan disartria terletak di jaras-jaras yang menghantarkan impuls koordinatif yang bersumber pada serebelum, atau yang menyalurkan impuls ganglio basalis. Pada disartria serebelar, kerjasama otot lidah, vivir, pita suara dan otot-otot yang membuka dan menutup mulut bersimpang siur, sehingga kelancaran dan kontinuitas kalimat yang diucapkan Sangay terganggu. Sedangkan pada disartria LMN akan terdengar berbagai macam disartria tergantung pada kelompok otot yang terganggu (Mardjono dan Priguna, 2003).

PATOFISIOLOGI NERVUS FACIALIS
Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus facialis bisa mendapat gangguan din lintasan supranuklear, nuclear, dan intranukelar. Pada kerusakan karena sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian bawah korteks motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral akan memperlihatkan kelumpuhan jenis UMN. Ini berarti bahwa otot wajah bagian bawah tampak lebih jelas lumpuh daripada bagian atasnya. Sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah . Lipatan nasolabial sisi yang lumpuh mendatar. Jika kedua sudut mulut disuruh diangkat,maka sudut mulut yang sehat saja yang dapat terangkat. otot wajah bagian dahi tidak menunjukkan kelemahan yang berarti. Juga tanda Bell (lagoftalmus dan elevasi bola mata) tidak dapat diJumpai. ciri kelumpuhan facialis UMN ini dapat dimengerti, karena subdivisai inti  facialis yang mengurusi otot wajah atas alis mendapat inervasi kortikal secara bilateral. Sedangkan subdivisi inti facialis yang mengurusi otot wajah lainnya hanya mendapatkan inervasi kortikal secara kontralateral saja.
Pada kerusakan di lobus frontalis otot wajah sisi kontralateral masih dapat digerakkan secara volunteer, tetapi tidak ikut bergerak jika ketawa atau merengut. Perubahan raut muka pada keadaan emosional justru masih bisa timbul apabila korteks motorik primer rusak. Maka, gerakan otot wajah yang timbul pada keadaan emosional (psikomotorik) sangat mungkin diatur oleh daerah korteks di lobus frontalis. Sedangkan gerakan otot wajah volunter diurus oleh korteks piramidalis.
Lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideum dan pada cabang-cabang tepi nervus facialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens bisa merusak akar nevus facialis, inti nervus abducen dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis facialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Proses patologik di sekitar meatus akustikus internus melibatkan nervus facialis dan akustikus. Maka dalam hal tersebut, paralisis facialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 anterior lidah).

OBAT ANTIEPILEPSI DAN ANTIKONVULSI
Sebenarnya tujuan pengobatan epilepsi adalah untuk mencegah timbulnya bangkitan tanpa mengganggu kapasitas fisik dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa dan pengobatan psikososial (Mansjoer dkk, 2008).
1.      Pengobatan Medikamentosa
Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan penyebaran kejang. Namun, umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung bersifat membatasi proses penyebaran daripada mencegah proses inisiasi. Dengan demikian secara umum ada dua mekanisme kerja, yaitu: peningkatan inhibisi (GABA-ergik) dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi konduksi ion; Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivasi neurotransmitor, meliputi:
a.       Inhibisi kanal Na+ pada membrane sel akson
Contoh : fenitoin dan karbamazepin (pada dosis rendah), fenobarbital dan asam valproat (dosis tinggi), lamotrigin, topiramat, zonisamid.
b.      Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron thalamus (yang berperan sebagai pacemaker untuk membangkitkan cetusan listrik umum di korteks)
Contoh : etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam.
c.       Peningkatan inhibisi GABA
1.      Langsung pada kompleks GABA
Contoh : benzodiazepin, barbiturat
2.      Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake dan metabolisme GABA
Contoh: tiagabin, vigabatrin, asam valproat, gabapentin
d.      Penurunan eksitasi glutamat, melalui:
1.      Blok reseptor NMDA, misalnya lamotrigin
2.      Blok reseptor AMPA, misalnya fenobarbital, topiremat.
(Gunawan dkk, 2007)



Berikut ini terdapat obat pilihan berdasarkan jenis bangkitan.
No
JENIS BANGKITAN
JENIS OBAT
1
Fokal/parsial


Sederhana
Karbamazapin, fenobarbital, fenitoin

Kompleks
Karbamazapin, fenobarbital, fenitoin, asam valproat

Tonik-Klonik umum sekarang
Karbamazapin, fenobarbital, fenitoin, asam valproat
2
Umum


Tonik-klonik
Karbamazapin, fenobarbital, fenitoin, asam valproat

Mioklonik
Klonazepam, asam valproat

Absens/petit mal
Klonazepam, asam valproat

2.      Pengobatan Psikososial
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebgaian besar akan terbebas dari bangkita. Pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya sehingga dapat bebas dari bangkitan dan dapat belajar, bekerja, bernasyarakat secara normal.
(Mansjoer dkk, 2008)

REFERENSI
Gunawan, Sulistia Gen dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Mansjoer, Arif dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



REFERENSI
Mardjono, Mahar dan Priguna Sidharta. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: DIAN Rakyat. 

Karsinoma Nasofaring

BAB III
PEMBAHASAN

Seorang pasien laki-laki berumur 40 tahun datang dengan keluhan utama terdapat benjolan di leher kanan keras yang tidak nyeri tekan. Benjolan muncul sejak 3 bulan yang lalu sebesar kacang lalu semakin membesar dan sekarang sudah sebesar telur itik Ada beberapa penyakit yang bisa dicurigai dalam menimbulkan benjolan pada leher, yaitu struma, higroma colli, neoplasma jaringan lunak, limfadenitis, parotitis, dan neoplasma jaringan limfoid. Namun, untuk mempermudah dalam diagnosis, perlu dikerucutkan atau diarahkan pada satu penyakit. Pada struma, benjolan terjadi ditengah leher tepat karena yang mengalami pembesaran adalah kelenjar thyroid. Untuk parotits, benjolan terjadi dari depan telinga hingga bawah telinga. Sedangkan pada pasien tersebut benjolan terdapat pada leher kanan.  Lalu benjolan pada higroma colli sudah terjadi pada saat lahir, sedangkan pasien baru merasakan saat umur 40 tahun. Neoplasma jaringan lunak merupakan neoplasma pada jaringan lemak, fibrosa, otot, dan lainnya dimana konsistensi benjolannya lunak atau kenyal (Chandrasoma dan Taylor, 2005). Padahal benjolan pada pasien tersebut keras. Jika limfadenitis, pasti ditemukan tanda-tanda peradangan seperti demam dan nyeri tekan, sedangkan pasien tidak memilki gejala tersebut. Kemungkinan terbesarnya adalah neoplasma jaringan limfoid. Neoplasma ini bisa primer atau sekunder (hasil metastase). Pada neoplasma jaringan limfoid primer, biasanya berkaitan dengan sumsum tulang belakang, seperti leukimia. Dengan begitu ruang pemikiran menjadi lebih sempit, yaitu pada neoplasma jaringan limfoid sekunder. Dari namnya, berarti neoplasma ini terdapat di kelenjar limfoid yang merupakan hasil metastase dari tumor primer. Untuk menganalisis letak tumor primer dan jenis tumornya, bisa dilihat dari keluhan keluhan dan pemeriksaan selanjutnya.
Benjolan pada pasien muncul sejak 3 bulan yang lalu sebesar kacang lalu semakin membesar dan sekarang sudah sebesar telur itik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan tumor sangat cepat. Pertumbuhan yang cepat menandakan bahwa tumor tersebut ganas. Hal lain yang menandakan adanya keganasan adalah adanya metastase, yang pada kasus ini metastase ke kelnjar limfoid. Anamnesis selanjutnya didapatkan keluhan pasien seperti sering keluar darah dari lubang hidung, hidung tersumbat, telinga kanan terasa penuh, pandangan kabur, dan kepala pusing. Keluhan-keluhan tersebut merupakan keluhan khas yang terjadi pada karsinoma nasofaring, mengingat letak nasofaring yang memang berabatasan dengan hidung, telinga, dan kranial. Keluarnya darah dari hidung bukan disebabkan oleh pecahnya plexus kiesselbach (pada karsinoma nasofaring), tetapi karena dinding tumor yang rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat menyebabkan perdarahan. Keluhan hidung tersumbat disebabkan oleh pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala ini menyerupai pilek kronis, hidung tersumbat, dan ingus kental. Namun, gejala tersebut bukan gejala yang khas karena bisa juga karena infeksi biasa, bukan tumor. Pertumbuhan tumor ke arah lateral yang dapat mendesak tuba eustachius dan mengganggu pergerakan otot levator palatini, yang berfungsi membuka tuba sehingga fungsi tuba terganggu. Pertumbuhan lebih lanjut dapat menyumbat muara tuba. Padahal fungsi tuba eustachius adalah menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Jika tuba tersumbat, telinga tengah akan menghasilkan cairan yang semakin lama semakin menumpuk sehingga terasa telinga seperti penuh. Hal tersebut menyebabkan kebocoran telinga hingga gangguan pendengaran. Pandangan kabur disebabkan pertumbuhan tumor ke arah kranial sehingga dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan kelumpuhan otak syaraf, yaitu syaraf otak VI. Gejala tersebut berupa penglihatan dobel (diploppia). Selain mengenai syaraf otak, bisa menekan selaput otak sehingga kepala terasa sakit atau pusing  Rasad, 1996; Soepardi, 2000)
Dari pemeriksaan fisik yang telah dilakukan diperoleh tekanan darah 130/80 mmHg dimana tekanan tersebut masih dalam batas normal. Kelainan sistemik juga tidak ditemukan yang menunjukkan bahwa tumor tersebut belum bermetastase sampai organ-organ vital. Palpasi pada benjolan didapatkan, benjolan yang keras, karena tumor mengandung jaringan fibrosa yang terus berproliferasi; sukar digerakkan, disebabkan tumor terus berkembang menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya sehingga kelenjar menjadi lekat dengan otot; dan tidak nyeri tekan, menunjukkan bahwa benjolan tersebut bukan merupakan suatu peradangan.
Dalam menegakkan diagnosa pasti terhadap suatu penyakit diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang. Dokter Puskesamas dalam skenario merujuk pasien ke rumah sakit khususnya kepada bagian THT karena dokter umum memang memilki wewenang untuk merujuk pasien kepada dokter yang lebih ahli (dokter spesialis) mengingat peralatan di rumah sakit juga lebih lengkap untuk melkakukan pemeriksaan penunjang. Dokter THT di Rumah sakit melakukan biopsi karena biopsi memang sebagai gold standar dalam diagnosa penyakit neoplasma (Sukardja, 2000). Biopsi dilakukan pada benjolan di leher dan nasofaring untuk mengetahui apakah benar ada karsinoma pada nasofaring, seperti yang telah dicurigai sebelumnya, dan untuk mengetahui tingkat keganasan tumor tersebut. Sebenarnya dalam diagnosa karsinoma nasofaring tidak hanya melalui biopsi, tetapi juga bisa melalui CT scan, tes serologi untuk IgA anti EA dan IGA anti VCA untuk virus Epstein Barr, mediastinokopi, MRI, dan sebagainya. Namun, seperti yang sudah diuraikan tadi dari pemeriksaan-pemeriksaan tersebut memang bipsi sebagai pemeriksaan histopatologi yang merupakan gold standarnya. Tapi bukan berarti pemeriksaan-pemeriksaan lainnya tersebut tidak berguna, mereka bisa digunakan seperti untuk menentukan stadium dari karsinoma serviks. Setelah dilakukan biopsi memang ternyata benar, benjolan pada leher tersebut memang bukan karena pembesaran kelenjar limfoid, melainkan adanya tumor yang anaplastik sebagai tanda bahwa tumor tersebut ganas. Begitu juga hasil pemeriksaan histopatologi pada nasofaring yang menunjukkan adanya gambaran anaplastik yang menandakan tumor tersebut ganas. Dari pemeriksaan tersebut bisa diagnosa pasti penderita tersebut terkena karsinoma nasofaring yang bermetastase ke kelnjar limfoid di leher.
Penatalaksanaan pertama yang dapat dilakukan pada pasien tersebut memang operasi untuk pengangkatan benjolan di leher. Karena tumor tersebut adalah tumor ganas, ditakutkan ada sisa-sisa dari kanker yang belum terangkat sehingga bisa menyebabkan kekambuhan. Untuk itu perlu diberikan terapi terapi seperti radiasi, kemoterapi, kemoradioterapi, imunoterapi. Tidak disarankan tindakan operasi untuk lesi yang tersisa. Untuk karsinoma nasofaring stadium lanjut dapat dilakukan terapi fotodinamik dan implantasi biji iodium-125 (AsroeL,..).
Sebenarnya setiap penyakit dapat dilakukan pencegahan. Untuk melakukan tindakan preventif itu perlu diketahu etiologi dari karsinoma nasofaring sendiri.  Insidensi karsinoma nasofaring banyak terjadi pada laki-laki. Kemungkinan hal ini berkaitan dengan kebiasaan merokok yang dilakukan oleh laki-laki dimana dalam rokok terdapat banyak zat karsinogen. Karsinoma nasofaring juga biasanya terjadi pada orang dewasa, tapi bukan berarti hanya pada orang dewasa, pada anak-anak juga bisa terjadi. Hal tersebut disebabkan oleh akumulasi dari mediator-mediator pengaktif EBV sebagai salah satu penyebab kelainan di epitel nasofaring yang sudah dikonsumsi dari anak-anak dan baru timbul manifestasi pada usia dewasa. Mediator tersebut seperti nitrosamin yang banyak dikandung dalam ikan asin. Dari beberapa uraian tersebut dapat diambil tindakan-tindakan pencegahan terhadap karsinoma faring, yaitu jangan merokok, evakuasi penduduk daerah resiko tinggi (berkaitan karsinogen), ubah pola diet dan cara memasak, vaksinasi anti EBV, dan tes serologi untuk EBV.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A.    SIMPULAN
  1. Benjolan pada pasien merupakan tumor metastase dari tumor pada nasofaring.
  2. Insidensi karsinoma nasofaring dapat terjadi di segala usia, tapi kebanyakan pada usia dewasa (30 – 60 tahun) akibat akumulasi karsinogen dan lebih sering pada laki-laki yang berhubungan dengan aktivitas merokok.
  3. Pertumbuhan tumor yang cepat, bermetastase, dan memilki gambaran anaplastik merupakan tanda keganasan dari suatu tumor.
  4. Pemeriksaan histopatologis, yaitu biopsi, merupakan gold standar dalam menentukan diagnosa pasti neoplasma.
  5. Pada pasien belum bisa ditentukan stadium dari karsinoma nasofaring karena pemeriksaan yang dilakukan kurang lengkap.
  6. Tindakan operasi dilakukan untuk mengangkat benjolan dan bukan untuk menghilangkan sisa-sisa dari lesi, setelah itu dilakukan terapi-terapi agar tidak terjadi kekambuhan.

B.     SARAN  
  1. Menghindari makanan yang banyak mengandung karsinogen.
  2. Melakukan deteksi dini agar dapat mencegah dan bisa segera diatasi jika terdapat suatu kelainan.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Boies, dan Higler. 1997. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Ed: 6. Jakarta : EGC.
Arima, Cut Aria. 2006. Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma Nasofaring. http://library.usu.ac.id/download/fk/D0400193.pdf.
Asroel, Harry A. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. http://library.usu.ac.id/download/fk/…….pdf.
Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
(Buku Ajar Onkologi Klinik
 IKA Nelson taon 2000
Wang, Jialei dkk 2007 Retrospective Case Series Of Gemcitabine Plus Cisplastin In The Treatment Of Recurrent and Metastatic nasopharyngeal carcinoma http://intl.elsevierhealth.com/journals/oron/
Anonim, 2008. Epstein Barr Virus. http://en.wikipedia.org/wiki/Epstain-Barr-Virus
 Susworo. 2004. Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir. Cermin Dunia Kedokteran.
 Chandrasoma dan Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta : EGC
 Rasad U. 1996.  Nasopharyngeal Carcinoma. Medical Progress. July Vol 23 no 7
Soepardi EA, Iskandar N. 2000. Karsinoma Nasofaring. Buku Ajar THT. Edisi Kelima. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
Sukardja, I Dewa Gede. 2000. Onkologi Klinik. Surabaya: Airlangga University Press