Cari Blog Ini

Laman

Rabu, 01 Juni 2011

Ansietas

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Gangguan kecemasan dan gangguan tidur merupakan salah satu gejala klinis gangguan jiwa yang paling sering. Gejala ini dapat mengganggu kelangsungan hidup penderita karena tidak tenang. Gangguan kecemasan dan gangguan tidur dapat ditimbulkan oleh trauma oleh suatu kejadian.
Seperti pada skenario, Nn. S, usia 25 tahun, mahasisiwi, datang ke puskesmas dengan keluhan tidak bisa melihat. Keluhan tersebut sudah timbul sejak 2 tahun yang lalu setelah melihat kakak tertuanya pacaran melebihi batas, sehingga pasien terkejut dan pingsan. Ketika sadar dari pingsannya, pasien mulai mengeluh tidak bisa melihat. Anehnya, walaupun buta, pasien masih bisa menonton acara televisi dengan baik seperti sebelum sakit. Di samping itu, pasien juga mengeluh susah tidur dan sering merasa cemas. Akibat gangguan tersebut pasien dikeluarkan dari tempat kuliahnya. Dari anamnesis lebih lanjut diketahui bahwa pasien sangat mengindolakan kakaknya sebagai seorang yang pandai, taat beragama, rajin, dan sukses dalam bekerja.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana patofisiologi dari gejala yang dialami penderita ?
2.      Apa saja macam-macam gangguan tidur dan bagaimana penatalaksanaannya?
3.      Bagaimanakah fisiologi kecemasan dan apa saja maca-macam gangguan kecemasan?
4.      Apa diagnosis banding yang dialam penderita?
5.      Bagaimana penatalaksaan dan prognosis terhadap gejala yang dialami pasien?
  
C.    TUJUAN
1.      Mengetahui patofisiologi gejala yang dialami penderita.
2.      Mengetahui macam-macam gangguan tidur dan penatalaksanaannya.
3.      Mengetahui fisiologi kecemasan dan macam-macamnya.
4.      Mengetahui diagnosis banding yang dialami penderita.
5.      Mengetahui penatalaksanaan dan prognosis penyakit pasien.

D.    MANFAAT
1.      Mahasiswa mampu menjelasakan konsep sehat dan sakit secara kejiawaan
2.      Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi gangguan jiwa serta pencegahan dan penatalaksanaannya


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      FISIOLOGI  TIDUR
Tidur adalah suatu kondisi bawah sadar saat orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tipe tidur dibagi menjadi 2, yaitu : (Guyton and Hall, 2007)
1.      Tidur gelombang lambat (NREM)
Tidur gelombang lambat atau juga Non Rapid Eye Movement yaitu tidur dalam atau nyenyak, biasanya terjadi setelah 1 jam pertama setelah memasuki tahap tidur. Tidur gelombang lambat disebut juga tidur tanpa mimpi, tetapi sebenarnya pada tahap tidur ini sering timbul mimpi dan bahkan mimpi buruk terjadi selama tidur gelombang lambat. Mimpi pada tidur gelombang lambat tidak dapat diingat karena tidak terjadi konsolidasi mimpi dalam ingatan. Tidur gelombang lambat sukar dibangunkan oleh rangsangan sensorik dan terjadi pula penurunan tonus pembuluh darah perifer dan fungsi-fungsi vegetatif tubuh lainnya.
2.      Tidur REM dengan pergerakan mata yang cepat
           Tidur Rapid Eye Movement terjadi sepanjang tidur malam yang normal, berlangsung 5-30 menit, muncul rata-rata setiap 90 menit dan dapat terbangun spontan pada pagi hari. Tidur REM sangat singkat atau mungkin tidak ada jika terjadi dalam kondisi yang sangat mengantuk, tetapi jika terasa panjang sepanjang malam tidur REM akan semakin lama. Pada tidur REM, tonus otot menurun sehingga terjadi pergerakan otot-otot tubuh yang aktif. Penurunan tonus otot disebabkan oleh adanya hambatan yang kuat pada area pengaturan otot di spinal. Walaupun ada hambatan yang kuat pada otot perifer, masih timbul pergerakan otot yang tidak teratur sehingga menimbulkan pergerakan mata yang cepat. Pada tidur REM, otak menjadi aktif sehingga metabolisme otak meningkat sebanyak 20% dan disebut juga tidur paradoksikan karena sifatnya paradoks (seseorang masih dapat tertidur walaupun aktifitas otaknya meningkat), frekuensi jantung dan napas iregular sehingga terjadi keadaan tidur dengan mimpi.

B.       GANGGUAN TIDUR
·      Kelompok gangguan tidur:
1.      Dyssomnia: Kondisi psikogenik primer dimana gangguan utamanya jumlah, kualitas atau waktu tidur yang disebabkan oleh hal-hal emosional. Misalnya, insomnia, hipersomnia, gangguan jadwal tidur terjaga.
2.      Parasomnia: Peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama tidur. Misalnya, sleepwalking (somnambulisme), teror tidur (night terrors), mimpi buruk (nightmare).
·      Macam-macam insomnia:
1.      Insomnia non-organik:
a.       Kesulitan untuk masuk tidur / mempertahankan tidur / kualitas tidur buruk.
b.      Minimal 3X seminggu selama minimal 1 bulan.
c.       Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
d.      Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi atau cemas.
2.      Hipersomnia non-organik:
a.       Rasa ngantuk siang hari yang berlebihan atau adanya serangan tidur dan atau transisi yang memanjak dari saat mulai bangun hingga sadar penuh.
b.      Terjadi setiap hari, lebih dari 1 bulan atau berulang dengan kurun waktu lebih pendek.
c.       Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukan gejala rasa kantuk pada siang hari.

3.      Gangguan jadwal tidur-jaga non-organik:
a.       Pola tidur-jaga dari individu tidak seirama dengan pola tidur-jaga yang normal bagi masyarakat setempat.
b.      Insomnia pada waktu orang-orang tidur dan hipersomnia pada waktu kebanyakan orang jaga, yang dialami hampir setiap hari untuk sedikitnya 1 bulan atau berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek.
c.       Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti cemas, depresi.
(Muslim, 2002; Joeana dan Musadik, 1988)

C.    GANGGUAN SOMATOFORM
Gangguan ini mencakup pasien-pasien yang terutama menunjukkan keluhan somatik yang tidak dapat dijelaskan dengan adanya gangguan depresif, anxietas, atau penyakit medis. Ada dua gangguan yang termasuk dalam kelompok gangguan somatoform: Pertama, yang gambaran utamanya adalah kekhawatiran bahwa gejala yang ada merupakan bukti adanya penyakit (hipokondriasis) atau deformitas (dismorfofobia), dan kedua, yang gambaran utamanya adalah kekhawatiran tentang gejala somatik itu sendiri (antara lain gangguan somatisasi, disfungsi autonomik persisten, dan gangguan nyeri somatoform persisten).
Gejala-gejalanya bukan merupakan waham, harus dibedakan dengan waham atau halusinasi somatik pada gangguan psikotik. Gejala-gejala itu juga tidak dengan sengaja dibuat-buat. Penganiayaan atau penelantaran anak merupakan faktor risiko bagi gangguan somatoform.
Penanganan gangguan somatoform harus berhati-hati karena bukan hanya pasien tetapi seringkali dokter juga yakin bahwa gejala-gejala yang ada merupakan tanda penyakit fisik dan bukan gangguan psikiatrik.
Macam-macam gangguan somatoform:
·         Gangguan somatisasi
-          Gambaran utama: Gejala somatik multipel tanpa dasar organik.
-          Epidemiologi: 0,2-2% populasi umum
-          Diagnosis banding: SLE, porfiria, gangguan tiroid, skizofrenia, depresi, stress pasca trauma.
-          Pengobatan: Konsolidasi penanganan dengan satu dokter pelayanan primer; psikoterapi kelompok atau individual.
·         Gangguan konversi
-          Gambaran utama: kehilangan atau perubahan fungsi fisik kareno konflik psikologis; biasanya berupa gejala pseudoneurologis.
-          Epidemiologi: relatif jarang.
-          Diagnosis banding: multiple sclerosis, myasthenia gravis, polimiositis, tumor otak, stroke, depresi, skizofrenia, gangguan buatan, dll.
-          Pengobatan: psikoterapi, hipnoterapi, wawancara serta difasilitasi obat.
·         Gangguan nyeri somatoform
-          Gambaran utama: preokupasi terhadap nyeri tanpa adanya temuan objektif, atau temuan objektif yang berlebihan.
-          Epidemiologi: relatif lebih lazim.
-          Diagnosis banding: penyakit jantung koroner, penyakit diskus lumbal, endometriosis, skizofrenia, gangguan mood, dll.
-          Pengobatan: tim spesialis multidisiplin; konsolidasi penanganan; terapi kognitif perilaku; obat anti depresan.
·         Hipokondriasis
-          Gambaran utama: takut menderita, atau yakin bahwa ia menderita penyakit yang serius.
-          Epidemiologi: 4-9% di praktik umum.
-          Diagnosis banding: penyakit medis; gangguan mood, gangguan somatisasi, skizofrenia.
Pengobatan: konsolidasi penanganan medik; hubungan suportis dengan dokter pelayanan primer; psikoterapi pada kasus yang jarang.
(Muslim, 2002)



D.    GANGGUAN KONVERSI
·         Gejala utama adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (di bawah kendali kesadaran) antara :
-          Ingatan masa lalu
-          Kesadaran identitas dan penginderaan segera (awareness of identity and immediate sensations), dan
-          Control terhadap gerakan tubuh.
·         Pada gangguan disosiatif, kemampuan kendali di bawah kesadaran dan kendali selektif tersebut terganggu sampai taraf yang berlangsung dari hari ke hari atau bahkan jam ke jam.
·         Pedoman Diagnostik
Untuk diagnosis pasti maka hal-hal di bawah in harus ada :
a.       Gambaran klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada F44.-;
(misalnya F44.0 Amnesia Disosiatif)
b.      Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut;
c.       Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan kurun waktu yang jelas dengan problem dan kejadian-kejadian “stressful” atau hubungan interpersonal yang terganggu (meskipun hal tersebut disangkal oleh penderita)
(Muslim, 2002)

E.     MEKANISME PEMBELAAN EGO
No.
PEMBELAAN EGO
1.
Fantasi
Memuaskan keinginan yang terhalang, dengan prestasi dalam khayalan.
2.
Penyangkalan
Melindungi diri sendiri terhadap kenyataan yang tak menyenangkan, dengan menolak menghadapi hal itu, sering dengan melarikan diri seperti menjadi “sakit” atau kesibukan dengan hal-hal lain.
3.
Rasionalisasi
Berusaha membuktikan bahwa perilakunya itu masuk akal (rasional) dan dapat dibenarkan sehingga dapat disetujui oleh diri sendiri dan masyarakat.
4.
Identifikasi
Menambah rasa harga diri, dengan menyamakan dirinya dengan orang atau institusi yang mempunyai nama.
5.
Introyeksi
Menyatukan nilai dan norma luar dengan struktur egonya sehingga individu tidak tergantung pada belas kasihan hal-hal itu yang dirasakan sebagai ancaman luar.
6.
Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahaya masuk ke alam sadar.
7.
Regresi
Mundur ke tingkat perkembangan yang lebih rendah, dengan respons yang kurang matang  dan biasanya dengan aspirasi yang kurang.
8.
Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik.
9.
Penyusunan reaksi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai “rintangan”.
10.
Sublimasi
Mencari pemuasan atau menghilangkan keinginan seksual dalam kegiatan non-seksual.
11.
Kompensasi
Menutupi kelemahan, dengan menonjolkan sifat yang diinginkan atau pemuasan secara berlebihan dalam satu bidang karena mengalami frustasi dalam bidang lain.
12.
Salah-pindah
Melepaskan perasaan yang terkekang, biasanya permusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya membangkitkan emosi itu.
13.
Pelepasan (penebusan)
Menebus dan dengan demikian meniadakan keinginan atau tindakan yang tidak bermoral.
14.
Penyekatan emosional
Mengurangi keterlibatan ego dan menarik diri menjadi pasifuntuk melindungi diri sendiri dari kesakitan.
15.
Isolasi (intelektualisasi)
Melepaskan pelepasan afektif karena keadaan yang menyakitkan atau memisahkan sikap-sikap yang bertentangan, dengan tembok-tembok yang tahan logika.
16.
Simpatisme
Berusaha memperoleh simpati dari orang lain dan dengan demikian menyokong rasa harga diri, meskipun gagal.
17.
Pemeranan
Mengurangi kecemasan yang dibangkitkan oleh keinginan yang terlarang, dengan membiarkan ekspresinya.
(Coleman, J.C. 1976. Abnormal Phychology and Modern Life. Bombay : Tarapolevala Sons and Co. Pp : 128).

F.     STRESS
Stress adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respon tubuh seseorang manakala yang bersangkutan mengalami pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup mengatasinya, artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stress. Tetapi bila sebaliknya bila ia ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang tidak lagi menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami distress (Hawari, 2008)
Mekanisme Stress :
Seseorang yang mengalami stresor psikososial yang ditangkap melalui panca inderanya, melalui sistem saraf pasca indera akan diteruskan ke susunan saraf pusat otak yang disebut limbic system, melalui transmisi saraf (neurotransmitter / atau sinyal penghantar saraf). Dan selanjutnya stimulus atau rangsangan psikososial tadi melalui susunan saraf autonom (simpatis / parasimpatis) akan diteruskan ke kelenjar-kelenjar hormonal (endokrin) yang merupakan sistem imunitas tubuh dan organ-organ tubuh yang dipersarafinya (Sadock & Sadock, 2007). 
Terapi :
1.      Terapi organobiologik, yang meliputi :
a.       Psikofarmaka, yaitu dengan menggunakan obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neurotransmitter di susunan saraf pusat otak (sistem limbik) . Sebagaimana diketahui bahwa sistem limbik merupakan bagian dari otak yang berfungsi mengatur alam pikiran, perasaan dan perilaku atau dengan kata lain mengatur fungsi psikik (kejiwaaan) seseorang. Cara kerja psikofarmaka ini adalah dengan jalan memutuskan jaringan atau sirkuit psiko-neuro-imunologi, sehingga stresor yang dialami oleh seseorang tidak lagi mempengaruhi fungsi kognitif, afektif, psikomotor dan organ tubuh lainnya.
b.      Terapi somatic
Dalam pengalaman praktik sehari-hari, sering dijumpai gejala atau keluhan fisik (somatic) sebagai gejala ikutan atau akibat dari stress, kecemasan dan depresi yang berkepanjangan. Untuk menghilangkannya dapat diberikan obat-obatan yang ditujukan pada organ tubuh yang bersangkutan.
Sebgai contoh keluhan-keluhan pada sistem pencernaan, kardiovaskuler, pernafasan, urogenital, otot, tulang, dan lain sebagainya sering menyertai orang yang menderita stress, cemas, atau depresi. Sebaliknya stress, cemas, dan depresi dapat merupakan gejala ikutan pada penderita penyakit fisik yang ketahanan dan daya tahan mentalnya terpengaruh karena sakitnya (Hawari, 2008).
c.        Electro convulsive therapy (ECT)
Dalam keadaan dimana pasien mengalami gejala psikotik yang berat ( misalnya, mutisme atau percobaan bunuh diri) dan tak menunjukkan perbaikan dengan terapi psikofarmaka, maka diterapi dengan ECT. Terapi ini bertujuan memberikan aliran listrik ke otak pasien yang dapat mengatur kembali dan dapat menyeimbangkan produksi neurotransmitter di otak yang akan menghilangkan gejala psikotik pada pasien.

2.      Psikoterapi
Secara harafiah berarti pengobatan jiwa, oleh karenanya istilah ini dapat diterapkan sebgai segala bentuk pengobatan yang disusun untuk menyembuhkan gangguan jiwa. Adapun definisi psikoterapi dalam praktek adalah cara pengobatan terhadap masalah emosional yang dilakukan secara rofesional oleh orang yang terlatih secara sukarela dengan cara mengubah atau menghambat gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu, dan mengembangkan pertumbuhan ayng positif, dengan tujuan utama agar pasien dapat dewasa, bahagia, dan mandiri (Sudiyanto, 2008).

C.    ANSIETAS
Ansietas (anxiety) adalah perasaan cemas atau takut yang disebabkan oleh dugaan adanya bahaya yang akan mengancam yang datangnya bias dari dalam maupun dari luar dirinya. Perasaan takut akan terjadi sesuatu, yang disebabkan oleh konflik bawah sadar. Ketakutan, ketegangan, atau ketidaktenangan akibat kemungkinan bahaya yang akan terjadi yang penyebabnya tidak diketahui atau tidak dikenal, terutama berasal dari intrapsikik. Afek yang tidak menyenangkan yang terdiri dari perubahan psikofisiologik terhadap respon terhadap konflik intrapsikik.
Pengalaman ansietas memiliki dua komponen: kesadaran akan sensasi fisiologis. Perubahan fisiologik yang terjadi adalah menaiknya detak jantung, gangguan pernafasan, gemetar, berkeringat, dan perubahan vasomotorik, serta kesadaran bahwa ia gugup dan ketakutan. Selain pengaruh visceral dan motorik, ansietas memengaruhi pikiran, persepsi, dan pembelajaran. Perubahan psikolosik yaitu berupa perasaan tidak enak akan datangnya bahaya, yang disertai perasaan akan hilangnya kekuatan, ketidakmampuan untuk memahami ancaman yang tidak nyata, perasaan ketegangan yang berkepanjangan, dan menurunnya kesiagaan untuk menghadapi bahaya yang akan datang. Ansietas cenderung menimbulkan kebingungan dan distorsi persepsi, tidak hanya persepsi waktu dan ruang tetapi juga orang dan arti peristiwa. Distorsi ini dapat mengganggu proses pembelajaran dengan menurunkan konsentrasi, mengurangi daya ingat, dan mengganggu kemampuan menghubungkan satu hal dengan hal lain, yaitu membuat asosiasi.
Aspek penting emosi adalah efeknya pada selektivitas perhatian. Orang yang mengalami ansietas cenderung memperhatikan hal tertentu di dalam lingkungannya dan mengabaikan hal lain dalam upaya untuk membuktikan bahwa mereka dibenarkan untuk menganggap situasi tersebut menakutkan. Jika keliru dalam membenarkan rasa takutnya, mereka akan meningkatkan ansietas dengan respon yang selektif dan membentuk lingkaran setan ansietas, persepsi yang mengalami distorsi, dan ansietas yang meningkat. Jika sebaliknya, mereka dengan keliru menentramkan diri mereka dengan keliru menentramkan diri mereka dengan pikiran selektif, ansietas yang tepat dapat berkurang, dan mereka dapat gagal mengambil tindakan pertahanan yang perlu.


BAB III
PEMBAHASAN

Pada skenario didapatkan pasien wanita berusia 25 tahun datang dengan keluhan tidak bisa melihat. Meskipun buta, pasien masih bisa menonton tv. Keluhan ini sudah timbul sejak 2 tahun yang lalu setelah melihat kakak laki-laki tertuanya berpacaran melebihi batas sehingga pasien terkejut dan pingsan. Pengalaman yang sedemikian mengejutkan akan menyebabkan refleks terkejut dan menimbulkan seangkaian respon fisiologis, diantaranya pada sistem kardiovaskuler dan pernapasan. Respon tersebut antara lain palpitasi, jantung berdebar, nafas cepat, tekanan pada dada, dan rasa akan pingsan. Inilah yang menyebabkan mengapa pasien pingsan sesaat melihat kakaknya berpacaran melebihi batas menurut persepsinya.
Ketika sadar dari pingsan pasien mulai mengeluh tidak bisa melihat tetapi masih bisa menonton televisi dengan baik. Hal yang perlu diketahui adalah apakah saat pingsan pasien mengalami trauma khususnya trauma kepala yang mungkin mengakibatkan penurunan fungsi penglihatannya. Maka dalam kasus ini perlu di periksa lebih lanjut ke spesialis mata untuk melihat adakah gangguan organik. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan pasien tidak bisa melihat perlu dilakukan pemeriksaan terhadap organ penglihatannya terlebih dahulu. Apabila keluhan pasien ini tidak berdasar pada gangguan penglihatan maka keluhan pasien ini dapat digolongkan ke gangguan somatik terkait gangguan psikis. Hal ini dapat terjadi akibat proses emosi di otak yang kemudian mempengaruhi system saraf otonom yang juga mempengaruhi kerja organ. Dalam skenario ini, stressor dialami pasien setelah melihat kakak yang selama ini diidolakan melakukan kegiatan pacaran yang melebihi batas.
Dengan pemeriksaan sederhana oleh dokter puskesmas diketahui bahwa pasien tidak bisa melihat hanya pada tulisan dalam bentuk buku, sedangkan tulisan yang lain dapat dilihat dan dibaca. Hal ini merupakan salah satu tanda dari adanya mekanisme pertahanan ego tipe mengalihkan. Pertahanan ego tipe mengalihkan adalah mengalihkan emosi yang seharusnya diarahkan pada orang atau benda tertentu ke benda yang tidak membahayakan. Pada skenario ini pasien mengalihkan emosinya pada buku. Ia menganggap buku sebagai suatu benda simbolik yang dapat ia gambarkan sebagai kakaknya yang sangat rajin belajar
Pasien juga mengeluh susah tidur dan sering merasa cemas. Kecemasan atau ansietas adalah sebuah emosi dan pengalaman subjektif dari seseorang yang  merupakan suatu keadaan tidak nyaman dan berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya. Respon yang ditimbulkan dari ansietas pada system neuromuskuler salah satunya adalah insomnia atau sulit tidur. Korteks limbic bagian frontal orbitalis mengatur pola tidur dan kemampuan motorik. Apabila terjadi stress maupun kecemasan dapat menyebabkan peningkatan tekanan dan area tersebut mengalami ablasi sehingga pengaturan tidur menjadi terganggu. Inilah sebabnya mengapa pasien diatas mengalami susah tidur.
Pengobatan untuk pasien dengan kecemasan dan gangguan neurosis histeris reaksi konversi seperti pasien pada skenario dapat dilakukan dengan terapi kognitif selain pemberian terapi farmakologi. Terapi kognitif dilakukan dengan cara membetulkan pikiran yang salah, yang telah menyebabkan terjadinya kekacauan emosional. Prinsip terapi kognitif yaitu: bahwa semua rasa murung disebabkan oleh kesadaran atau pemikiran yang bersangkutan, jika depresi sedang terjadi maka berarti pemikiran telah dikuasai oleh kekeliruan yang mendalam, bahwa pemikiran negative menyebabkan kekacauan emosional. Sedangkan terapi farmakologi yang dibutuhkan adalah obat-obatan untuk simptomatologis, pada kasus ini adalah obat anti insomnia dan obat anti ansietas.
  
BAB IV
PENUTUP

A.    SIMPULAN
  1. Pasien pada scenario membutuhkan pemeriksaan mendalam pada spesialis mata untuk mengetahui apakah ada kelainan organic.
  2. Apabila tidak ditemukan kelainan organic, maka diagnosis untuk pasien pada scenario adalah gangguan neurosis histeris reaksi konversi.
  3. Kecemasan yang dialami terus-menerus pada juga dapat menimbulkan keluhan sulit tidur
  4. Pasien tidak dapat melihat hanya dalam tulisan buku karena pasien tidak ingin menjadi seperti kakaknya yang pintar dan rajin
  5. Pengobatan dilakukan dengan terapi kognitif dan terapi farmakologis.

B.     SARAN
1.      Pasien harus melakukan pemeriksaan mata untuk memperjelas penyakitnya
2.      Dukungan keluarga terutama kakak pasien sangat berpengaruh pada prognosis kesehatan pasien.


DAFTAR PUSTAKA

Guyton, A.C., John E. Hall, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hawari, D., 2008. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta. Balai Penerbit FK UI.
Joewana S. dan Musadik K. 1988. Patofisiologi Tidur dan Psikopatologi Insomnia. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_053_insomnia.pdf. Diakses pada 7 Desember 2010.
Maslim, Rusdi. 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
Sadock, B.J. & Sadock V.A., 2007. Synopsis of Psychiatry. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Sudiyanto, A., 2007. Konsultasi Expert. Bagian Psikiatri FK UNS-RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar