Cari Blog Ini

Laman

Selasa, 31 Mei 2011

Infeksi Jamur

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pada skenario 2 Blok Kulit terdapat seorang laki-laki, 45 tahun, pekerjaan supir angkutan yang bekerja dari pagi hingga sore, mengeluh gatal pada kedua lipat paha. Keluhan dirasakan sejak 3 minggu yang lalu. Keluhan tersebut didahului munculnya bercak kemerahan yang semakin melebar. Rasa gatal terutama dirasakan saat berkeringat atau beraktifitas. Rasa sangat gatal ini oleh pasien sering digaruk hingga kulitnya lecet dan pedih. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan plakat eritematosa, skuama, papul, bagian tepi aktif dengan central healing. Dilakukan pemeriksaan kerokan lesi kulit dengan KOH 10% ditemukan hifa dan spora. Oleh dokter diberikan obat anti jamur topical dan oral. Pasien dianjurkan menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Pada pembelajaran KBK-PBL (Kurikulum Berbasis Kompetensi–Problem Based Learning), skenario dalam tutorial diharapkan dapat menjadi trigger atau pemicu untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar biomedis dan klinik sesuai dengan sasaran pembelajaran yang sudah ditetapkan. Sasaran pembelajaran yang telah ditentukan antara lain: mampu menjelaskan berbagai jenis Ujud Kelainan Kulit (UKK), jenis pemeriksaan kulit dan interpretasinya, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis penderita.
Berdasarkan hal di atas, penulis berusaha untuk mencapai dan memenuhi sasaran pembelajaran tersebut selain melalui tutorial tetapi juga melalui penulisan laporan ini. Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran mahasiswa yang bersangkutan dan bahan evaluasi sejauh mana pencapaian sasaran pembelajaran yang sudah didapatkan.


B.       Rumusan Masalah
a.         Bagaimana patogenesis dan patofisiologi gejala pasien di skenario?
b.         Apa diagnosis banding serta diagnosis pada pasien di skenario?
c.         Bagaimana penatalaksanaan pasien tersebut?

C.      Tujuan
a.         Untuk mengetahui patogenesis dan patofisiologi gejala pasien pada kasus diskenario.
b.         Untuk mengetahui diagnosis banding serta diagnosis penyakit yang diderita pasien.
c.         Untuk mengetahui  penatalaksanaan pada pasien di skenario.
D.      Manfaat
a.  Mampu menjelaskan macam-macam penyakit pada kulit berdasarkan jenis kausa, fungsi, serta lokasi terutama pada skenario 2.
b. Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit meliputi patogenesis dan patifisiologinya.
c.  Mampu menjelaskan manajemen atau penatalaksanaan penyakit kulit meliputi dasar-dasar terapi yaitu medikamentosa, operatif, perilaku, dan lain-lain.

E.       Hipotesis
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, pasien menderita infeksi jamur di kulit.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    FISIOLOGI DAN HISTOLOGI KULIT
Kulit merupakan organ tubuh paling luar dan membatasi bagian dalam tubuh dari lingkungan luar. Luas kulit pada orang dewasa sekitar 1.5 m2 dan beratnya sekitar 15% dari berat badan secara keseluruhan  (Djuanda dkk, 2007). Kulit memiliki banyak fungsi dalam menjaga homeostasis tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), pembentukan pigmen, keratinisasi, dan  pembentukan vitamin D (Djuanda dkk, 2007).
Kulit terdiri atas tiga bagian utama, yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis. Epidermis merupakan lapisan teratas kulit yang terutama terdiri atas epitel berlapis n lapisan tanduk. Selain itu, epidermis juga mengandung tiga jenis sel lain yaitu melanosit yang menghasilkan melanin, sel merkel sebagai mekanoreseptor sensoris, serta sel Langerhans yang berfungsi untuk fagositosis dan presentasi antigen. Epidermis terdiri dari stratum korneum yang kaya keratin, stratum lucidum, stratum granulosum yang kaya keratohialin, stratum spinosum, dan stratum basal yang mitotik. Dermis terdiri dari jaringan ikat yang menunjang epidermis dan mengikatnya pada jaringan subkutan (hipodermis) (Junquiera dan Carneiro, 2007). Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu stratum papilare dan stratum retikulare. Selain kedua stratum tersebut, dermis juga mengandung beberapa turunan epidermis, yaitu folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea (Price dan Wilson, 2005). Sedangkan hipodermis terdiri dari jaringan ikat longgar yang mengikat kulit secara longgar pada organ-organ di bawahnya (Junquiera dan Carneiro, 2007).
Proses pembentukan lapisan tanduk (keratin) dikenal sebagai proses keratinisasi. Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan pembelahan, lalu sel basal akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum, makin ke atas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin lama inti menghilang, mengalami apoptosis dan menjadi sel tanduk yang amorf. Sel-sel yang sudah mengalami keratinisasi akan meluruh dan digantikan dengan sel di bawahnya yang baru saja mengalami keratinisasi untuk kemudian meluruh kembali, begitu seterusnya. Proses ini memakan waktu sekitar empat minggu untuk epidermis dengan ketebalan 0.1 mm (Junquiera dan Carneiro, 2007; Price dan Wilson, 2005).

B.     MORFOLOGI (EFLORESENSI) KULIT
Efloresensi kulit dapat berubah pada waktu berlangsungnya penyakit. Proses tersebut dapat merupakan akibat biasa dalam perjalanan proses patologik.Kadang-kadang perubahan ini dapat dipengaruhi keadaan dari luar seperti garukan, trauma, dan lain-lain, sehingga perubahan tersebut tidak biasa lagi (gambaran klinis morfologik penyakit menyimpang dan sulit dikenali). Menurut Prakken, ada dua jenis efloresensi, yaitu:
1.      PRIMER


-          Macula
-          Papul
-          Plak
-          Urtika
-          Nodus
-          Nodulus
-          Vesikel
-          Bula
-          Pastul
-          Kista


2.      SEKUNDER
-          Skuama
-          Krusta
-          Erosi
-          Ulkus
-          Sikatrik
(Budimulja, 2007)
Efloresensi tersebut dapat disebut sebagai UKK (Ujud Kelainan Kulit). Pada skenario disebutkan beberapa UKK, yaitu:
-          Plakat: merupakan peninggian di atas permukaan kulit, permukaannya rata dan berisi zat padat (biasanya infiltrat), diamternya 2 cm atau (Budimulja, 2007).
-          Eritematosa: kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh darah kapiler yang reversibel (Budimulja, 2007).
-          Skuama: merupakan serpihan mirip lempeng,kering, dan mengandung zat tanduk; biasanya akibat kornifikasi yang tidak sempurna (Murphy, 2007).
-          Papul: merupakan lesi padat meninggi dengan garis tengah 5 mm atau kurang (Murphy, 2007).

C.    DERMATOFITA
Dermatofita adalah golongan jamur yang mempunyai sifat mencerna keratin. Berdasarkan sifat morfologi, dermatofita dikelompokkan dalam 3 genus : Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Enam spesies penyebab dermatofitosis di Indonesia adalah Trichophyton rubrum, Truchophyton mentagrophytes, Microsporum canis, Microsporum gypseum, Trichophyton concentricum dan Epidermophyton floccosum. (Gandahusada dkk, 2006)
Jamur golongan dermatofita membentuk koloni filament pada biakan agar Sabouraud. Setiap spesies memiliki sifat koloni, hifa dan spora yang berbeda. Seua dermatofita bisa membentuk hifa spiral. Makrokonidia dari Trichophyton berbentuk panjang menyerupai pensil. Mikrokonidia T. rubrum kecil, berdinding tipis, berbentuk lonjong, terletak pada konidiofora yang pendek dan tersusun secara satu persatu pada sisi hifa (en thyrse) atau berkelompok (en grappe). Jamur jenis ini memilki hifa yang halus dan banyak mikrokonidia. Mikrokonidia T. mentagraphytes berbentuk bulat dan membentuk banyak hifa spiral. (Gandahusada dkk, 2006)
Makrokonidia M.canis berbentuk kumparan berujung runcing dan terdiri ari 6 sel atau lebih. Makrokonidia ini berbentuk tebal. Microsporum gypseum juga berbentuk kumparan terdiri atas 4-6 sel, dindingnya lebih tipis Mikrokonidia M.canis dan M.gypseum berbentuk lonjong dan tidak khas. (Gandahusada dkk, 2006)
Epidermophyton floccosum, merupakan satu-satunya pathogen pada genus ini, hanya menghasilkan makrokonidia, berdinding halus, berbentuk gada, bersel dua sampai empat dan tersusun dalam dua atau tiga kelompok. Koloni biasnaya rata dan seperti beludru dengan warna coklat sampai kuning kehijauan. E floccosum tidak menginfeksi rambut. (Brooks dkk, 2004)
Beberapa spesies dermatofita, keadaan reproduksi seksual telah ditemukan, dan semua dermatofita dengan bentuk seksual menghasilkan askospora. (Brooks dkk, 2004)

D.    DERMATOFITOSIS
Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofit. Golongan jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh karena mempunyai daya tarik kepada keratin (keratinofilik) sehingga infeksi jamur ini dapat menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum korneum sampai dengan stratum basalis.
a.    Etiologi
Dermatofitosis disebabkan jamur golongan dermatofita yang terdiri dari tiga genus, yaitu genus: Mikrosporon, Trikofiton dan Epidermofiton. Dari 41 spesies dermafito yang sudah dikenal hanya 23 spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang terdiri dari 15 spesies Trikofiton, 7 spesies Mikrosporon dan 1 spesies Epidermafiton.
Selain sifat keratinofilik ini, setiap spesies dermatofita mempunyai afinitas terhadap hospes tertentu. Dermatofita yang zoofilik terutama menyerang binatang, dan kadang-kadang menyerang manusia. Misalnya : Mirosporon canis dan Trikofiton verukosum. Dermatofita yang geofilik adalah jamur yang hidup di tanah dan dapat menimbulkan radang yang moderat pada manusia, misalnya Mikrosporon gipsium.
b.   Gambaran Klinis
Umumnya gejala-gejala klinik yang ditimbulkan oleh golongan geofilik pada manusia bersifat akut dan sedang dan lebih mudah sembuh. Dermatofita yang antropofilik terutama menyerang manusia, karena memilih manusia sebagai hospes tetapnya. Golongan jamur ini dapat menyebabkan perjalanan penyakit menjadi menahun dan residif, karena reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan. Contoh jamur yang antropofilik ialah: Mikrosporon audoinii, Trikofiton rubrum.
c.    Cara Penularan
Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau air. Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor, yaitu :
1.   Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini tergantung pada afinitas jamur itu, apakah jamur antropofilik, zoofilik, atau geofilik. Selain afinitas ini masing-masing jenis jamur ini berbeda pula satu dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh, misalnya : Trikofiton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermatofiton flokosum paling sering menyerang lipat pada bagian dalam.
2.   Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.
3.   Faktor-suhu dan kelembaban
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur ini.
4.   Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah, penyakit ini lebih sering ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik.
5.   Faktor umur dan jenis kelamin
Seperti pada penyakit Tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa, dan pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur di sela-sela jari dibanding pria dan hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktor-faktor tadi masih ada faktor-faktor lain seperti faktor perlindungan tubuh (topi, sepatu dan sebagainya) , faktor transpirasi serta pemakaian pakaian yang serba nilan, dapat mempermudah penyakit jamur ini (Boel, 2003).
d.   Pembagian dan Lokasi Jamur
Secara etiologis dermatofitosis disebabkan oleh tiga genus dan penyakit yang ditimbulkan sesuai dengan penyebabnya. Diagnosis etiologi ini sangat sukar oleh karena harus menunggu hasil biakan jamur dan ini memerlukan waktu yang agak lama dan tidak praktis. Disamping itu sering satu gambaran klinik dapat disebabkan oleh beberapa jenis spesies jamur, dan kadang-kadang satu gambaran klinis dapat disebabkan oleh beberapa spesies dematofita sesuai dengan lokalisasi tubuh yang diserang.
Istilah Tinea dipakai untuk semua infeksi oleh dermatofita dengan dibubuhi tempat bagian tubuh yang terkena infeksi, sehingga diperoleh pembagian dermatofitosis sebagai berikut :
1. Tinea kapitis            :bila menyerang kulit kepala clan rambut
2. Tinea korporis         :bila menyerang kulit tubuh yang berambut  (globrous
                                     skin).
3. Tinea kruris             :bila menyerang kulit lipat paha, perineum, sekitar
                                     anus dapat meluas sampai ke daerah gluteus, perot
                                     bagian bawah dan ketiak atau aksila
3.Tinea manus dan tinea pedis : Bila menyerang daerah kaki dan tangan,
                                              terutama telapak tangan dan kaki serta sela-
                                              sela jari.
5. Tinea Unguium       :bila menyerang kuku
6. Tinea Barbae           :bila menyerang daerah dagu, jenggot, jambang dan
                                     kumis.
7. Tinea Imbrikata       :bila menyerang seluruh tubuh dengan memberi
                                     gambaran klinik yang khas.
(Boel, 2003)
e.   Gejala Klinis
Umumnya dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas yaitu bercak-bercak yang berbatas tegas disertai efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga memberikan kelainan-kelainan yang polimorf, dengan bagian tepi yang aktif serta berbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang (Boel, 2003).
Gejala objektif ini selalu disertai dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini digaruk maka papel-papel atau vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan daerah yang erosit dan bila mengering jadi krusta dan skuama. Kadang-kadang bentuknya menyerupai dermatitis (ekzema marginatum) , tetapi kadang-kadang hanya berupa makula yang berpigmentasi saja (Tinea korporis) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai gejala-gejala pioderma (impetigenisasi) (Boel, 2003).

E.     TINEA KRURIS
Penyakit ini memberikan keluhan perasaan gatal yang menahun, bertambah hebat bila disertai dengan keluarnya keringat. Kelainan yang timbul dapat bersifat akut atau menahun. Kelainan yang akut memberikan gambaran yang berupa makula yang eritematous dengan erosi dan kadang-kadang terjadi ekskoriasis. Pinggir kelainan kulit tampak tegas dan aktif (Boel, 2003).
Apabila kelainan menjadi menahun maka efloresensi yang nampak hanya makula yang hiperpigmentasi disertai skuamasi dan likenifikasi. Gambaran yang khas adalah lokalisasi kelainan, yakni daerah lipat paha sebelah dalam, daerah perineum dan sekitar anus. Kadang-kadang dapat meluas sampai ke gluteus, perot bagian bawah dan bahkan dapat sampai ke aksila (Boel, 2003).
·         Epidemiologi:
Tinea cruris lebih sering mengenai pria dewasa dengan riwayat obesitas dan diabetes mellitus daripada perempuan dan jarang pada anak-anak. Hal tersebut dipengaruhi oleh frekuensi keringat yang berlebihan, dan tingkat pengetahuan masing-masing individu tentang kebersihan sehingga hal itu juga sangat membantu dalam pengobatan. Tinea cruris sering dialami oleh penduduk di daerah dengan iklim tropis. (Nadalo dan Montoya, 2006; Wiederkehr dan Schwartz, 2009).
·         Penyebab utama adalah Epidermophyiton floccosum, Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentografites.
·         Terapi:
Tinea cruris lebih baik diobati secara topikal dengan menggunakan antijamur  allylamine (naftifine dan terbinafine) atau antijamur azole (clotrimazole, econazole, miconazole, ketokonazole, oxiconazole, dan sulconazole). Allylamine memiliki durasi terapi yang lebih pendek, tingkat kekambuhan yang lebih rendah dan bekerja  independen pada sistem sitokrom P450. Allylamine tersedia dalam bentuk emulsi-gel, krim, dan semprot.  Anti jamur ini diberikan satu kali sehari selama satu minggu (Nadalo dan Montoya, 2006).
Menurut Bahroelim Bahri dan R. Setyabudi (2005), golongan imidazol yang efektif dalam pengobatan tinea cruris yaitu pada clotrimazol. Mekanisme kerjanya yaitu dengan menghambat sintesis ergosterol yang mengakibatkan permeabilitas membran sel jamur meningkat dan menyebabkan terjadinya gangguan sintesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel jamur yang akan menimbulkan kerusakan sehingga obat dapat menembus ke dalam lapisan tanduk kulit dan akan menetap di sana selama empat hari. Clotrimazol tersedia dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1% untuk dioleskan selama satu hari sekali. Pada pemakaina  topikal dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema, gatal, dan urtikaria.
·         Pencegahan:
1.         Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Jika faktor-faktor lingkungan ini tidak diobati, kemungkinan penyembuhan akan  lambat. Daerah intertrigo atau daerah antara jari-jari dan lipatan sesudah mandi harus  dikeringkan dan diberi bedak pengering atau bedak anti jamur.
2.         Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai pakaian dari bahan katun yang menyerap keringat dan jangan memakai pakaian yang ketat.
3.         Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dengan air panas.
·         Diferensial Diagnosa :
1. Kandidiasis intertriginosa
2. Eritrasma
3. Psoriasis vulgaris
4. Pitiriasis rosea
KANDIDOSIS INTERTRIGINOSA
Penyebab tersering adalah Candida albicans. Lesi terdapat di daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari-jari tangan atau kaki, glans penis, dan umbilicus. Gejala dan tanda: (Kuswadji, 2007)
1.      Berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa.
2.      Lesi dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer disebut hens and chickens.

ERITRASMA
Eritrasma adalah salah satu penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh Corynebacterium minitussismum ditandai dengan adanya lesi berupa eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Lesi kulit dapat berukuran sebesar miliar sampai plakat. Lesi eritroskuamosa, berskuamosa halus kadang-kadang dapat berupa dapat terlihat merak kecoklatan (Budimulja, 2008).
Gejala dan tanda: (Soepardiman, 2007)
1.      Lesi kulit dapat berukuran sebesar miliar sampai plakat
2.      Lesi eritroskuamosa berskuama halus kadang-kadang dapat terlihat merah kecoklatan, tergantung pada area lesi dan warna kulit penderita.
3.      Tempat predileksi di daerah ketiak dan lipat paha. Kadang-kadang berlokasi di daerah intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk.
4.      Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginosa. Lesi tidak menimbul dan tidak terliha vesikulasi.  Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak.
5.      Eritrasma tidak menimbulkan keluhan subjektif kecuali bila terjadi eksematisasi oleh karena penderita berkeringat banyak atau terjadi maserasi pada kulit

PSORIASIS VULGARIS
Psoriasis vulgaris adalah kulit yang disebabkan oleh respon autoimun tipe 1.  Psoriasis vulgaris adalah penyakit inflamasi pada kulit yang menyebabkan perubahan seluler termasuk hiperplasia epidermis, perubahan diferensiasi keratinosit, angiogenesis dan inflamasi pada kulit (Chamlan, dkk, 2004). Psoriasis adalah keadaan kulit yang tidak normal dimana kulit penderita menebal lebih cepat dari kulit yang normal. Psoriasis biasanya mengenai pada kulit kepala, lutut, dan siku, dapat juga mengenai bagian tubuh lain termasuk kuku dan tulang (Azman, 2006). Gejala dan tanda : (Dharmawan, 2010)
1.         Gatal
2.         UKK: Plak, eritema, skuama tebal, berlapis-lapis keperakan seperti mika, berbatas tegas, ukuran lentikular
3.         Auspitz Sign: Jika skuama dikerok, muncul bintik perdarahan yang disebut papilomatosis
4.         Koebner phen: Muncul lesi baru yang isomorfik pada tempat yang terkena trauma 7-14 hari setelah trauma
5.         Fenomena tetesan lilin
 
PITIRIASSI ROSEA
Pitiriasis rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan, paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasantyaa sembuh sendiri dalam waktu 3-8 minggu. Tetapi ada hipotesis yang mengemukakan bahwa penyebabnya virus, karena penyakit ini merupakan penyakit swasima (self limiting disease) (Djuanda, 2007). Gejala dan Tanda: (Dharmawan, 2010; Vijayabhaskar, 2008)
1.       Gejala Prodormal (+)
2.       Gatal ringan
3.       Diawali lesi inisial (herald patch / medalion): plak eritem 2-5 cm dengan skuama halus di bagian pinggirnya oval, berbatas tegas, lokasi pada badan, leher, atau ekstrimitas proksimal.
4.       Erupsi sekunder muncul 2 minggu setelah lesi inisial: berlangsung beberapa hari sampai 10 hari, lokasi di badan, punggung yang disebut christmast tree pattern.
5.       Pitriasis rosea atipikal: lesi terdapat di wajah dan di leher, lesi primer mungkin muncul satu-satu / (-) / multiple

F.     PENATALAKSANAAN
Secara umum infeksi jamur dibedakan atas infeksi jamur sistemik dan infeksi jamur topikal. Namun sistematika ini tidak sepenuhnya memuaskan karena ada obat jamur yang dapat digunakan baik untuk infeksi sistemik maupun untuk infeksi lokal. Sementara itu ada pula infeksi lokal yang dapat diobati secara topikal maupun sistemik.
Umumnya, obat jamur topikal bekerja menghambat jamur dengan mengganggu aktivitas sel jamur sehingga menjadi rusak. Obat jamur kulit diberikan berupa krim atau salep yang dapat dioleskan langsung pada daerah yang terinfeksi jamur. Namun, suatu obat jamur secara sistemik diperlukan sebagai tambahan bila infeksi sudah meluas.
a.       Penggolongan obat Jamur Topikal
Obat jamur kulit yang ada di Indonesia , antara lain:
                        1.      Griseofulvin
Obat ini efektif untuk infeksi jamur di kulit, rambut, dan kuku yang disebabkan berbagai jamur dermatofit seperti Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum. Griseofulvin bekerja dengan menghambat mitoisi jamur dengan mengikat protein mikrotubuler dalam sel.
                        2.      Imidazol dan Triazol
Obat jamur golongan imidazol mempunyai spektrum yang luas. Kelompok ini adalah mikonazol, klotrimazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol, dan bifonazol. Angka penyembuhan tinea pedis dengan mikonazol sebesar 95%.
                        3.      Tolnaftat
Tolnaftat merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar dermatofitosis yang disebabkan T. Rubrum, T. metagrophites, T. tonsurans, E. Floccosum, M.canis, M. Auduoini dan P.orbiculare tapi tidak efektif terhadap candida. Angka penyembuhan tolnaftat pada tinea pedis sebesar 80%.
                        4.      Nistatin
Obat ini merupakan suatu antibiotik polien yang dihasilkan olehStreptomyces noursei. Nistatin terutama digunakan infeksi kandida di kulit, selaput lendir dan saluran cerna.
                        5.      Lainnya
kandisidin, asam benzoat dan asam salisilat, asam uindesilat, haloprogin, natamisin, siklopiroksolamin.
Pada infeksi umum, jamur tersebar di tubuh atau mengakibatkan infeksi dalam organ tubuh, yang kadang-kadang dapat membahayakan jiwa.
b.      Penggolongan Obat Jamur Sistemik
Obat jamur untuk infeksi jamur sistemik:
                        1.         Amfoterisin B. Obat ini dapat menghambat aktivitas Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, beberapa spesies Candida, Torulopsis glabrata, Rhodotorula, Blastomyces dermatitis, Paracoc braziliensis, beberapa strain Aspergillus,Sporotrichum schenckii, Microsporum audiouini dan spesies Trichophyton.
                        2.         Flusitosin. Obat ini efektif untuk pengobatan Kriptokokosis, Kandidosis, Kromomikosis, Torulopsis dan Aspergilosis.
                        3.         Ketokonazol dan Triazol. Sebagai turunan Imidazol, Ketokonazol mempunyai aktivitas anti jamur baik sistemik maupun nonsistemik, Efektif terhadap Candida, Coccioides immitis, Cryptococcus neoformans, H.capsulatum, B.dermatitidis, Aspergillus dan Sporothrix.
                        4.         Kalium Iodida adalah obat terpilih untuk Cutaneous lymphatic sporotrichosis.
Infeksi jamur (mikosis) sistemik jarang dijumpai, tetapi berbahaya dan sifatnya kronis. Amfoterisin B merupakan obat jamur yang efektif untuk infeksi sistemik yang berat. Dikarenakan toksisitasnya, obat ini harus diberikan dengan infus di rumah sakit oleh tenaga medis yang kompeten.Amfoterisin B berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini akan menyebabkan membran sel bocor sehingga terjadi kehilangan bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel.Disamping Amfoterisin B, Ketokonazol adalah suatu obat jamur untuk infeksi sistemik yang berspektrum luas.
            (Bahri dan Setyabudi, 2005)


BAB III
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki, 45 tahun, pekerjaan sebagai sopir angkota yang bekerja dari pagi hingga sore, datang ke tempat praktek dokter dengan keluhan gatal pada kedua lipat paha. Keluhan dirasakan sejak 3 minggu yang lalu. Keluhan tersebut didahului munculnya bercak kemerahan yang semakin melebar. Rasa gatal terutama dirasakan saat berkeringat atau beraktivitas. Keringat mengandung air, elektrolit, glukosa dan asam laktat. pH keringat berkisar antara 4,0-6,8. Kelenjar keringat ada 2 jenis, yaitu: (1) ekrin, berukuran kecil dan terletak pada lapisan dermis dan memiliki sekret encer; serta (2) apokrin, berukuran lebih besar, mulai aktif setelah pubertas dan memiliki sekret lebih kental. Kelenjar keringat tipe apokrin umumnya terdapat pada axilla, pubis, areola mammae, labium minora dan saluran telinga luar. Produksi kelenjar keringat secara berlebihan menyebabkan kulit menjadi lembab sehingga dapat menjadi media yang tepat untuk pertumbuhan jamur. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan lingkungan berperan sebagai faktor predisposisi yang bisa dimanfaatkan oleh jamur, sedangkan infeksi jamur dari eksternal bisa berperan sebagai faktor pencetus sehingga bisa menyebabkan infeksi jamur. Rasa gatal ini oleh pasien sering digaruk hingga kulitnya lecet dan pedih. Lecet adalah hilangnya epidermis tetapi tidak sampai menembus stratum basalis. Dengan menggaruk, sistem spinothalamica (sel saraf tulang belakang) terhalang sehingga transmisi sensasi gatal tidak sampai ke otak.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan plakat eritematosa, skuama, papul, bagian tepi aktif dengan central healing. Plakat eritematosa adalah kemerahan pada kulit dengan diameter lebih dari 1 cm yang terjadi akibat kongesti kapiler. Skuama adalah sistik yang berupa stratum korneum yang terlepas dari kulit sehingga merupakan akumulasi keratin dalam jumlah besar. Central healing adalah proses penyembuhan yang berada di bagian tengah lesi, sedangkan bagian tepi lesi masih aktif. Umumnya central healing terjadi pada penyakit yang disebabkan oleh jamur dikarenakan sifat jamur yang tumbuh secara radier dan adanya produksi enzim keratolisis. Dilakukan pemeriksaan kerokan lesi kulit dengan KOH 10% ditemukan hifa dan spora. Pemeriksaan kerokan lesi kulit dengan KOH 10% adalah salah satu jenis pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis penyakit akibat jamur dengan cara mengerok pada bagian lesi. Kerokan dilakukan secara satu arah dan umumnya dipilih lesi bagian tepi.  Hifa adalah filamen atau benang yang membentuk miselium fungi (Dorland, 2006). Hifa terlihat pada pemeriksaan langsung penyakit jamur yang disebabkan oleh jenis kapang (seperti: tinea), sedangkan pada jenis khamir (seperti: Candida albicans) akan terlihat pseudohifa. Spora adalah unsur reproduktif yang dapat berisifat seksual atau aseksual dari organisme tingkat rendah.
Berdasar tinjauan manifestasi klinis dan interpretasi hasil pemeriksaan, kemungkinan besar pasien menderita dermatofitosis, yaitu penyakit akibat jamur Dermatofita yang menyerang bagian tubuh yang mengandung keratin, misalnya: stratum korneum. Stratum korneum berifat jauh dari sistem imun, terdiri dari sel mati, serta banyak mengandung lipid dan karbohidrat sehingga cocok untuk media pertumbuhan jamur. Jenis dematofitosis yang diderita pasien adalah tinea cruris karena faktor predileksi yang berlokasi di lipat paha. Dermatofita menghasilkan mannan yang dapat menghambat determinasi jamur oleh hospes dengan melakukan imunosupresi pada kekebalan dimediasi sel. Penyakit tinea cruris disebabkan oleh jamur golongan Tricophyton sp., Mycrosporum sp. dan Epidermophyton fluoccosum. Tricophyton rubrum dan Epidermophyton fluoccosum adalah spesies yang paling sering muncul. Tinea cruris dapat terjadi pada pria maupun wanita, namun wanita memiliki kemungkinan lebih besar untuk terserang penyakit ini karena adanya obesitas pada daerah paha dan sering memakai pakaian ketat.
Diagnosis tinea cruris ditegakkan beradasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesis, perlu ditanyakan bagaimana penggunaan pakaian dalam, bagaimana lingkungan tempat tinggal, bagaimana aktivitas olah raga dan apakah ada riwayat diabetes mellitus. Pada penyakit diabetes mellitus, sistem imun menurun sehingga mudah terserang infeksi, termasuk infeksi jamur. Dalam pemeriksaan fisik, umumnya terlihat skuama dan eritema dengan central healing di lipatan paha, abdomen bawah dan bagian lain dari regio cruris. Pada infeksi akut akan muncul bercak-bercak yang basah dan eksudatif, sedangkan pada infeksi kronis akan lebih terlihat skuama dan likenifikasi. Dalam pemeriksaan penunjang, perlu dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10%, pemeriksaan dengan dermatophyte test media (DTM), kultur dengan media agar Sabboraud dan pemeriksaan dengan Wood’s lamp. Tinea cruris tidak mengalami fluoresen di bawah sinar Wood.
Oleh dokter diberikan obat anti jamur topikal dan oral. Obat anti jamur topikal umumnya bersifat keratolitik dan fungiostatik yang diberikan selama 3-4 minggu. Diperbolehkan pemberian hanya selama 2 minggu apabila keadaan klinis telah membaik. Pada penyakit tinea cruris, terapi utama berupa obat anti jamur topikal. Apabila dengan pemberian topikal tidak terjadi perbaikan, maka diberikan terapi oral sehingga terapi oral berguna sebagai terapi sistemik. Obat anti jamur oral yang paling sering digunakan adalah griseofulvin dan derivat azol. Griseofulvin yang masuk ke tubuh akan dihimpun dalam sel pembentuk keratin, kemudian terikat dengan keratin dan terkelupas sehingga selanjutnya dapat terbentuk sel baru yang resisten terhadap jamur. Griseofulvin sebaiknya diberikan bersama makanan berlemak, misalnya: susu. Indikasi pemberian griseofulvin, yaitu: lesi yang luas, lesi granulomatosa, kronis dan pengobatan topikal gagal. Pemberian griseofulvin harus hati-hati karena dapat bersifat teratogenik dan toksinogenik. Pada pasien baru tinea cruris tidak diberikan kortikosteroid karena kortikosteroid bersifat sebagai imunosupresan sehingga dapat meningkatkan derajat pertumbuhan jamur. Kortikosteroid bisa diberikan apabila jamur sudah tidak ada yang ditunjukkan dengan pemneriksaan kerokan kulit negatif.
Pasien dianjurkan menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Perlu diberikan edukasi pada pasien agar selalui mengusahakan lesi tetap kering dengan memberikan bedak tabur berisi asam salisilat setiap habis mandi dan buang air kecil maupun besar. Pasien juga sebaiknya tidak memakai celana dan sementara waktu bisa menggunakan sarung. Selain itu, perlu pula diberikan edukasi bahwa apabila timbul rasa gatal lagi, sebaiknya jangan digaruk karena bisa semakin memperbesar lesi dan memperluas penyebaran jamur. Kebersihan diri dan lingkungan juga tetap harus dijaga walaupun sudah sembuh dari penyakit tinea cruris, yaitu dengan mengganti handuk 3 hari sekali, sering berhenti untuk mengganti pakaian dalam dan selalu menggunakan bahan pakaian yang menyerap keringat. Istri pasien juga perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah tertular tinea cruris atau tidak.

BAB IV
PENUTUP
A.      Simpulan
1.      Pasien ini menderita dermatofitosis Tinea Kruris.
2.   Infeksi jamur terjadi karena sering berkeringat pada kedua lipat paha dalam waktu yang lama.
3.   Pada penyakit tinea cruris, terapi utama berupa obat anti jamur topikal. Apabila dengan pemberian topikal tidak terjadi perbaikan, maka diberikan terapi oral sehingga terapi oral berguna sebagai terapi sistemik

B.       Saran
1.   Pasien harus diberi edukasi agar menjaga lesi tetap kering dan menjaga kebersihan diri.
2.   Perlu dilakukan pemeriksaan terhadap istri pasien apakah menderita Tinea kruris agar tidak saling menularakan penyakit kembali.
  
DAFTAR PUSTAKA

Azman. 2006.Psoriasis Dewasa. www.infosihat.gov.my/penyakit/Pemakanan/Psoriasis.pdf. Tanggal diakses: 12 November 2010
Bahri, bahroelim, dan R. Setyabudi. 2005. Obat Jamur dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: FK UI.
Boel, trelia, Drg., M.Kes. 2003. Mikosis Superfisial. http://library.usu.ac.id/download/fkg/fkg-trelia1.pdf Tanggal diakses: 12 November 2010
Brooks, Geo F. ; Janet S. Butel dan Stephen A. Morse. 2004. Mikobiologi Kedokteran Jawetz, melnick, & Adelberg, Ed.23. Jakarta :EGC
Budimulja, Unandar. 2008. Eritrasma dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI
_________________. 2007. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis.Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI.
Chamlan, Francesca, Michael A.Lowes, dkk. 2004. Alefacept Reduces infiltrating T cells, activated dendritic cells, and inflammatory genes in psoriasis vulgaris. New York: Rokefeller University
Dharmawan, Nugrohoaji. 2010. Dermatosis Eritroskuamosa. Slide Kuliah Blok Kulit. Surakarta: FK UNS
Djuanda, Adhi. 2007. Dermatosis Eritroskuamosa dalam Ilmu  Penyakit Kulit dan kelamin. Jakarta: FK UI.
Djuanda, Adhi. dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin 5th ed. Jakarta: FK UI
Dorland W. A. Newman.2006.Kamus Kedokteran Dorland.Edisi XXIX.Jakarta:EGC
Gandahusada, Srisasi; Herry D. Illahude, dan Wita Pribadi. 2006. Parasitologi Kedokteran. Jakarta :Balai Penerbit FK UI
Junqueira L.C. dan Carneiro J. 2007. Histologi Dasar Teks & Atlas 10th ed. Jakarta: EGC
Kuswadji. 2007. Kandidosis dalam Ilmu  Penyakit Kulit dan kelamin. Jakarta: FK UI
Murphy, George F; editor, Vinay Kumar, Ramzi S. Cotran, Stanley L Robbins; alih bahasa, Brahm U. Pendit. 2007. Kulit. Dalam Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. Jakarta: EGC.
Nadalo, dana dan  Cathy monthoya. 2006. What is the Best Way to Treat Tinea cruris?. Http://web.ebscohost.com. Tanggal diakses: 12 November 2010
Price S.A. dan Wilson L.M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 6th ed. Jakarta: EGC
Soepardiman, Lily. 2007. Pitiriasis Alba dalam Ilmu  Penyakit Kulit dan kelamin. Jakarta: FK UI
Vijayabhaskar, C. 2008. Pityriasis Rosea dalam e-Journal of the Indian Society of Teledermatology. India: Channey
Wiederkehr, Michael dan Robert Schwartz. 2009. Tinea Cruris. Http://emedicine.medscape.com. Tanggal diakses: 12 November 2010

3 komentar:

  1. mba, mau tanya dan minta bantuannya.
    saya baca tentang pH keringat, boleh tau sumbernya dari mana? karena sampai saat ini saya sulit mendapat literatur tentang itu.
    Mohon bantuannya mba untuk penulisan laporan akhir.

    BalasHapus
  2. Maaf baru membalas karena memang beberapa hari ini tidak update blog

    Untuk pH keringat saya ambil dari buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ke lima Penerbit FKUI.

    Wasitaatmaja,S.M.2007. Anatomi Kulit. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI. p:4.

    Semoga bermanfaat. :)

    BalasHapus
  3. Herpes adalah penyakit serius dan berulang yang tidak dapat disembuhkan melalui obat-obatan atau suntikan oleh dokter Amerika tetapi cara terbaik untuk menangani Herpes adalah dengan meminum obat herbal alami untuk itu, saya telah membaca tentang DR JAMES, dokter ahli herbal yang menyembuhkan saya dari herpes dengan obat herbal yang kuat. Saya menghubungi dia untuk mengetahui bagaimana dia dapat membantu saya dan dia mengatakan kepada saya untuk tidak pernah khawatir
    bahwa dia akan membantu saya dengan ramuan alami dari Tuhan!
    Setelah 2 hari menghubunginya, dia memberi tahu saya bahwa obatnya sudah siap dan
    dia mengirimkannya kepada saya melalui UPS SPEED POST dan itu sampai kepada saya setelah 3 hari!
    Saya menggunakan obat itu seperti yang dia perintahkan kepada saya (PAGI dan MALAM) dan ternyata saya
    sembuh!
    ini benar-benar seperti mimpi tetapi saya sangat senang! untuk orang yang menderita penyakit berikut: Penyakit Alzheimer, Penyakit Bechet, Penyakit Crohn, Penyakit Parkinson, Skizofrenia, Kanker Paru, Kanker Payudara, Kanker Colo-Rectal, Kanker Darah, Kanker Prostat, siva. Penyakit Dupuytren, Tumor bulat-sel kecil Desmoplastik Diabetes, penyakit Celiac, Penyakit Creutzfeldt-Jakob, Angiopati Amiloid Serebral, Ataksia, Artritis, Amyotrophic Lateral Sclerosis, Fibromyalgia, Fluoroquinolone Toksisitas
    Syndrome Fibrodysplasia Ossificans ProgresS sclerosis, Kejang, penyakit Alzheimer, Adrenocortical carcinoma. Asma, penyakit alergi. AIDS, Herpe, Copd, Glaucoma., Katarak, degenerasi makula, penyakit kardiovaskular, penyakit paru-paru, kanker prostat, osteoporosis, kanker prostat
    Dementia.Lupus.
    , Penyakit Cushing, Gagal Jantung, Multiple Sclerosis, Hipertensi, Kanker Colo_Rectal, Penyakit Lyme, Kanker Darah, Kanker Otak, Kanker Payudara, Kanker Paru-Paru, Kanker Ginjal, HIV, Herpes, Hepatitis B, Radang Hati, Diabetes, Fibroid,
    harus menghubungi dia untuk obat herbal karena saya adalah kesaksian hidup dan saya sembuh dari herpes dan obatnya sah. Saya mengiriminya apa yang dia minta dan dia mengirimi saya obatnya yang saya minum selama 2 minggu yang baik dan hari ini saya di sini dengan hasil negatif. Ketika saya pergi untuk tes saya sangat senang setelah minum obat herbal, saya memberi penghormatan kepada negaranya untuk merayakan bersamanya di festival Afrika-nya yang dia katakan biasanya terjadi setiap tahun. Anda dapat menghubunginya melalui VIA E-mail drjamesherbalmix@gmail.com atau nomor whatsapp: +2348152855846

    BalasHapus