Cari Blog Ini

Laman

Rabu, 25 Mei 2011

Struma

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Sampai tahun 1960-an defisiensi yodium dihubungkan dengan gondok, sehingga muncullah kata gondok endemik. Memang benar bahwa etiologi terpenting dari gondok ialah defisiensi yodium. Namun sebenarnya ada faktor lain yang berpengaruh, yaitu kelebihan unsur yodium, faktor nutrisi, dan faktor genetik. Seperti halnya kejadian yang dialami oleh wanita pada sknario ini.
Penanganan dari pembesaran kelenjar thyroid biasanya dilakukan tidakan operasi. Namun tindakan ini memang sampai saat ini masih timbul kontroversi. Operasi ini bisa menimbulkan efek-efek yang tak diharapkan. Tetapi, tindakan operasi memang diperlukan untuk beberapa keadaan.

Skenario
          Seorang wanita cantik usia 28 tahun alamat Kecamatan Kismantoro, Kabupaten Wonogiri (merupakan daerah gondok endemik), datang ke poliklinik penyakit dalam RS Moewardi dengan keluhan benjolan di leher depan sejak 5 tahun yang lalu.
Dua tahun yang lalu penderita berobat di Puskesmas karena benjolan di leher depan makin membesar, badan panas, dan nyeri, oleh dokter dikatakan kemungkinan menderita thyroiditis. Sekitar 1 bulan ini penderta merasakan banyak keringat, suka hawa dingin, sering berdebar-debar, kedua tangan gemetar bila memegang sesuatu, kemudian oleh keluarganya dibawa ke rumah sakit. Tetangganya juga memiliki anak laki-laki usia 10 tahun menderita cretinism pendidikannya masih di sekolah dasar kelas 2 karena sering tidak naik kelas dan kelihatan kecil.
Ketika di poliklinik dilakukan pemeriksaan didapatkan nadi 110 kali/menit matanya terlihat exophtalmus, hasil pemeriksan fisik: benjolan di leher konsistenso lunak, tidak nyeri dan mudah digerakkan. Pemeriksaan laboratorium TSHs < 0,005 μIU/ml (menurun), FT4 20 μg/dl (meningkat), FT3 15 pg/dl (meningkat). Kemudian oleh dokter poliklinik dikatakan menderita Grave’s disease dan diberi obat anti-thyroid dengan propil tiourasil 3 x 200 mg dan propanolol 3 x 10 mg. Perhitungan Indeks Wayne dan Indeks New Castel di atas normal. Penderita disarankan untuk pemeriksaan Iodium radioaktif dan Fine nedle aspiration biopsy tetapi menolak. Disarankan untuk control rutin setiap setiap bulan.
Setelah berobat selama 1 tahun, karena benjolan di leher dirasakan mengurangi kecantikannya, maka penderita ingin penyakitnya dioperasi. Di poliklinik bagian bedah penderita dilakukan persiapan operasi, dikatakan setelah operasi nanti kemungkinan bias terjadi hal-hal yang tidak diharapakan seperti hypothyroid, hypoparathyroid atau hyperparathyroid, krisis thyroid. Karena takut dioperasi akhirnya penderita memutuskan tidak jadi operasi.

Hipotesis
Wanita tersebut menderita penyakit hyperparathyroid yang menyebabkan timbulnya Grave’s disease.
 
B.     RUMUSAN MASALAH












Komplikasi
 
















C.    TUJUAN
1.      Mengetahui hubungan gejala yang timbul dengan penyakit yang diderita.
2.      Mengetahui pengaruh lingkungan dengan timbulnya penyakit.
3.      Memahami hubungan hasil test yang didapatkan patogenesis penyakit.
4.      Mampu mempertimbangkan penatalaksanaan yang dilakukan.

D.    MANFAAT
1.      Mahasiswa dapat menganalisis penyakit yang berkaitan dengan system endokrin.
2.     Mahasiswa dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat dari penyakit yang didiagnosis.
  

BAB II
STUDI PUSTAKA

A.    HORMON THYROID
Kelenjar thyroid menghasilkan 2 jenis hormon yang memiliki fungsi yang sama, hanya saja jumlahnya yang berbeda. 93% dari hormon yang dihasilkan adalah hormon tiroksin (T4), sedangkan 7%-nya adalah triiodotironin (T3). Akan tetapi hampir semua hormon tiroksin (T4) diubah menjadi hormon triiodotironin (T3). Pelepasan T3 dan T4 ke dalam darah distimulasi oleh TSH (Thyroid Stimulating Hormon) dari kelenjar hipofisis yang dipacu oleh TRH (Thyroid Releasing Factor) dari hipotalamus (Guyton and Hall, 2007).
Untuk membentuk hormon thyroid dalam jumlah yang normal, setiap tahunnya dibutuhkan kira-kira 50 mg yodium yang ditelan dalam bentuk iodida. Iodida tersebut akan diabsorbsi dari saluran pencernaan ke dalam darah. Seperlimanya akan diangkut ke kelenjar thyroid untuk sintesis hormon dan sisanya dibuang melalui ginjal. Iodida ini dihantarkan ke dalam sel-sel dan folikel kelenjar thyroid. Membran basal sel thyroid akan menjerat iodida (Iodise Trapping) diamana kecepatan penjeratannya dipengaruhi oleh beberapa faktor dan faktor yang terpenting adalah konsentrasi TSH (Guyton and Hall, 2007).
Iodida akan mengalami oksidasi menjadi bentuk yodium yang teroksidasi. Selanjutnya akan berikatan dengan asam amino tirosin yang berada dalam tiroglobulin. Yodium akan bereaksi dengan enzim iodinase untuk mengiodisasi tirosin menjadi monoiodotirosin lalu menjadi diiodotirosin. Semakin lama dengan bergandengan satu sama lain terbentuk triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Hormon-hormon tersebut disimpan di dalam tiroglobulin sampai tubuh membutuhkan hormon tersebut (Guyton and Hall, 2007).
Untuk melepaskan hormon-hormon tersebut, permukaan sel apikal tiroid menjulurkan pseudopodia mengelilingi sebagian kecil koloid sehingga terbentuk vesikel pinositik yang masuk ke bagian apeks sel-sel thyroid. Lisosom dari sitoplasma sel bergabung dengan vesikel tersebut untuk membentuk vesikel digestif yang mengandung enzim pencernaan (salah satunya adalah protease). Enzim tersebut akan mencerna molekul tiroglobulin menyebabkan T3, T4, monoiodotironin, dan diiodotironin lepas. T3 dan T4 lepas ke dalam darah, sedangkan monoiodotironin dan diiodotironin tetap di kelenjar thyroid dan dengan bantuan enzim deiodinase, yodium dilepas dari tirosin. Yodium tersebut dipakai kembali untuk membuat hormon selanjutnya (Guyton and Hall, 2007).
T3 dan T4 dalam plasma diikiat oleh TBG (Globulin pengikat Tiroksin), TBPA (Prealbumin pengikat Tiroksin), dan TBA (Albumin pengikat Tiroksin) sehingga disebut hormon terikat, sedangkan yang tidak terikat disebut hormon bebas (FT3 dan FT4). FT3 dan FT4 lah yang aktif karena langsung melakukan reaksi terhadap tubuh (Price and Lorraine, 2005). Hormon tersebut memiliki banyak efek pada tubuh, yaitu efek pada metabolisme karbohidrat, metabolisme lemak, pada plasma dan lemak hati, meningkatnya kebutuhan vitamin, meningkatnya laju metabolisme basal, menurunkan berat badan, meningkatkan aliran darah dan curah jantung, meningkatkan frekuensi denyut jantung, meningkatkan kekuatan jantung, tekanan arteri normal, meningkatkan pernapasan, meningkatkan motilitas saluran cerna, merangsang pada SSP, efek pada otot, tremor otot, efek pada tidur, efek pada kelenjar endokrin lain, dan fungsi seksual (Guyton and Hall, 2007).

B.     THYROIDITIS
Thyroiditis bias disebut juga sebagai radang kelenjar Thyroid (Dorland, 2006).  Penyakit ini mencakup segolongan kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang timbul mendadak disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid (misalnya:  subacute granolumatous thyroiditis dan infectious thyroiditis), dan keadaan dimana secara klinis tidak ada inflamasi dan manifestasi penyakitnya terutama dengan adanya disfungsi tiroid atau pembesaran kelenjar tiroid (misalnya: subacute lymphocytic painless thyroiditis) dan tiroiditis fibrosa (Riedels thyroiditis) (Wiyono, 2007).
Pada Tiroiditis subakut, pola perubahan fungsi tiroid biasanya dimulai dengan hipertiroid (akibat kerusakan sel-sel folikel dan pemecahan tiroglubulin, menyebabkan pelepasan tidak terkendali dari hormone T3 dan T4. TSH menurun karena T3 dan T4 meningkat. Hal ini berlangsung hingga T3 dan T4 habis dan sel folikel rusak), diikuti hipotiroid (karena T3 dan T4 habis), dan akhirnya kembali eutiroid (bila inflamasi mereda, sel-sel folikel tiroid akan regenerasi, sintesis, dan sekresi hormone akan pulih kembali) (Wiyono, 2007).

C.    GRAVE’S DISEASE
Grave’s disease merupakan sindrom hyperplasia tiroid difus dan paling sering pada wanita. Sindrom ini biasanya memiliki etiologi autoimun dan terkait dengan tiroiditis autoimun. Gejalanya berupa hipertiroidisme, struma, dan gejala oftalmik (Dorland, 2006). Faktor pendorong terjadinya Grave’s disease adalah kehamilan, nifas, pembentukan glukokortikoid, penambahan Iodida, infeksi bakteri dan virus sehingga kasus pada wanita lebih cenderung sering dibandingkan pada laki-laki (5 : 1) (Guyton, 2007).
Pada penyakit ini, TSHr (receptor TSH) dirangsang dan ditempati oleh immunoglobulin (TSAb atau Tyroid Stimulating Antibodi dan TSI atau Thyroid Stimulating Imunoglobulin) yang secara fungsional tidak dapat dibedakan oleh TSHr dengan TSH endogen, sehingga peristiwa selanjutnya juga tidak dapat dibedakan dengan rangsangan akibat TSH (Djokomoeljanto, 2007).

D.    HYPOTHYROID
Hypothyroid merupakan suatu keadaan dimana efek hormon thyroid di jaringan berkurang. Diagnosis ditegakkan berdasar atas TSH meningkat dan FT4 turun. Manifestasi klinis hypothyroid tidak tergantung pada sebabnya (Djokomoeljanto, 2007)..

E.     HYPERTHYROID
Merupakan respon jaringan terhadap pengaruh metabolik hormon yang berlebihan dan mengakibatkan tirotoksikosis, dapat terjadi struma atau goiter (benjolan) (R. Djokomoeljanto, 2006). Istilah hipertiroid dan tirotoksikosis sering dipertukarkan. Tirotoksikosis berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan. Sedangkan hipertiroid adalah tirotoksikosis sebagai akibat produksi tiroid itu sendiri (Mansjoer, 2005).
Beberapa etiologi hipertiroidisme yaitu Grave’s disease (70% dari kasus); tiroiditis : subakut (granulomatosa, nyeri), kronis (tanpa nyeri), atau pasca melahirkan, tirotoksikosis sementara; adenoma toksik (goiter soliter/ multinodular) atau lebih jarang karsinoma tiroid fungsional; tumor yang mensekresi TSH dari hipofisis (sangat jarang); dan lain-lain (Liza, 2007). Gejala yang ditimbulkan yaitu sangat mudah terangsang, intoleransi terhadap panas (suka dingin), berkeringat banyak, BB berkurang sedikit atau banyak (ada yang sampai 100 pound), berbagai derajat keparahan diare, kelemahan otot, kecemasan dan kelainan psikis lain, rasa sangat capai, tetapi tidak bisa tidur, tremor pada tangan     (Guyton and Hall, 2007).

F.     KRISIS THYROID
Krisis Tiroid adalah tirotoksikosis yang amat membahaykan, meskipunjarang terjadi. Pada keadaan ini dijumpai satu atau lebih dekompensasi sistem organ. Patogenesisnya, free hormon meningkat secara mendadak, efek T3 pascatranskripsi, dan meningkatnya sepekaan sel sasaran. Kecurigaan terhadap krisis thyroid terjadi apabila menghebatnya tanda tirotoksikosis, kesadaran menurun, dan hipertimia (Djokomoeljanto, 2007).

 BAB III
PEMBAHASAN

Peristiwa yang terjadi di skenario terletak di daerah gondok endemik. Hal tersebut bukan berarti gondok yang terjadi karena kekurangan kadar iodium, tetapi bisa juga karena kelebihan asupan iodium. Faktor genetik juga turut bereperan dalam timbulnya gondok tersebut (Djokomoeljanto, 2007). Diagnosis sebelumnya dikatakan bahwa wanita tersebut menderita thyroiditis. Hal ini bisa disebabkan wanita tersebut sudah mengalami hypotiroidisme. Mungkin juga ada faktor genetis terhadap klenjar thyroid tersebut.
Sekitar 1 bulan ini, wanita tersebut menampakkan gejala-gejala yang menunjukkan terjadinya hiperthyroidisme. Hal tersebut memperkuat dugaan terhadap timbulnya hyperthyroidisme. Namun hyperthyroid yang seperti apa belum dapat di diagnosis. Jika memang wanita tersebut mengalami hypothyroidisme, anehnya tetangganya menderita cretinism. Padahal penyakit tersebut disebabkan oleh hipothyroid. Biasanya pada waktu kehamilan, sang ibu kekurangan asupan yodium, sehingga berpengaruh pada janinnya. Tubuh anak tersebut menjadi kecil dan mengalami gangguan terhadap kecerdasannya (Guyton, 2007). Oleh karena itu, anak tersebut sering tidak naik kelas.
Pada pemeriksaan selanjutmya, didapatkan nadi yang cepat. Padahal hormon thyroid memiliki hubungan dengan hormon lain, yaitu hormon adrenal. Jika hormon thyroid berlebih, makan hormon adrenal juga akan disekresikan meningkat, sehingga menyebabkan takkikardi. Mata wanita tersebut eksophtalmus. Eksophtalmus merupakan pembengkakan pada jaringan retroorbita dan timbulnya perubahan degerneratif pada otot-otot ekstraokuler. Kelainan ini ditimbulkan karena imunoglobulin yang berlebih. Hal ini menunjukkan kadar TSI dalam plasma pun meningkat (Guyton, 2007). Eksophtalmus hanya terjadi pada Grave’s disease (Sherwood, 2001). Dengan begitu bisa dipastikan wanita tersebut mengalami hyperthyroidisme karena pengaruh Grave’s disease. Hal tersebut diperkuat dengan hasil test lab yang dilakukan. TSHs (test TSH sensitive) menunjukkan hasil penurunan kadar TSH dalam serum, yaitu <0,005 μIU/ml (normal: 1-10 µIU/ml) (Sacher, 2004). Padahal seharusnya hyperthyroid yang tidak ada kaitannya dengan autoimun (ditandai dengan munculnya imunoglobulin) TSH yang dihasilkan meningkat. Dengan turunnya TSH, menandakan tugasnya sudah diambil alih oleh TSI. Lalu hasil test juga menunjukkan kadar FT4 (20 μg/dl) dan FT3 (15 pg/dl) yang meningkat (normal: FT4: 4-12 µg/dl; FT3: 0,07-0,19 pg/dl) (Sacher, 2004). Kadar FT3 dan FT4 yang meningkat menunjukkan kadar T4 dan T3 juga meningkat (sekresi hormon thyroid meningkat) karena hormon bebas dan hormon terikat berada pada kesetimbangan. Hormon bebas ini berfungsi menghambat TSH (Ganong, 2008). Maka dari itu kadar TSH yang dihasilkan semakin menurun. Perhitungan Indeks Wayne dan Indeks New Castel, tes terhadap penderita hipertiroid berdasarkan symptom dan sign, untuk mengetahui toksisitas dari penyakit tiroid (tirotoksik), di atas normal (normal: <11; toksik: >19) (Kendall, 1972).
Obat anti thyroid yang diberikan dokter kepada pasien berfungsi menekan sekresi tiroid (Guyton, 2007). Obat tersebut diantaranya adalah propil tiourasil yang berfungsi untuk menormalkan metabolime basal, menghambat sintesis hormon thyroid dan konversi T4 menjadi T3, obat ini juga merupakan pengobatan pertama grave’s disease, sebagai pra bedah, dan pra RAI (Radioactive Iodium). Sedangkan propanolol berfungsi mrngurangi dampak hormon thyroid pada jaringan. Setelah diberikan obat-obat tersebut penderita disarankan untuk pemriksaan iodium radioaktif dan fine nedle aspiration biopsy. Test RAI digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar thyroid dalam menangkap dan mengubah yodida (Price and Lorraine, 2005). Biopsy tersebut sendiri bertujuan untuk menegakkan diagnosa dengan mengambil jaringan hidup menggunakan jarum yang halus dan dilihat secara mikroskopoik (Dorland, 2006).
Penanganan kasus tersebut biasanya dilakukan operasi pengangkatan kelenjar thyroid (thyroidektomi). Operasi ini dilakukan berdasarkan keganasan dari penyakit tersebut. Ibu hamil yang mengalami struma (gondok) sebaiknya dioperasi, sebab, jika meminum obat anti thyroid akan berbahaya bagi janinnya. Selain itu, jika gondok sudah sangat besar sehingga menyumbat arteri dan batang tenggorok juga harus dioperasi. Dari skenario juga dijelaskan wanita tersebut cantik. Dari segi estetik, gondok tersebut sebaiknya dioperasi. Namun, tindakan tersebut memang memiliki dampak hypothyroid, hypoparathyroid, hyperparathyroid, dan krisis thyroid jika pasca operasi tidak dikontrol dengan baik (Djokomoeljanto, 2007). Hypothyroid terjadi karena kelenjar thyroid diambil, sehingga hormon yang dihasilkan tidak ada, begitu juga dengan hypoparathyroid. Mengingat kelenjar parathyroid melekat pada thyroid, sehingga jika thyroid terangkat, kelenjar parathyroid juga akan ikut terangkat, sehingga produksi hormon parathyroid juga akan sedikit. Terjadinya hyperparathyroid pasca operasi dalam diskusi belum tuntas dan belum menemukan penjelasannya. Sedangakan krisis thyroid dalam buku IPD UI Jilid 3 disebutkankan bahwa terjadinya sampai sekarang belum jelas.

 BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A.    SIMPULAN
1.      Wanita tersebut menderita hyperthyroidisme yang disebabkan Grave’s Disease.
2.     Gondok endemik tidak selalu berarti daerah yang kekurangan yodium karena kelebihan yodium juga bisa menyebabkan gondok.
3.   Hasil laboratorium, perhitungan Index Wayne dan Index New Castel, RAI, dan Biopsy dapat digunakan untuk memperkuat diagnosa yang ditegakkan sebelumnya.
4.   Tindakan operasi yang dilakukan harus didasarkan pada tingkatan keganasan penyakit, keadaan pasien, dan efek yang ditmbulkan pasca operasi.

B.     SARAN
1.      Menjaga agar asupan iodium cukup (tidak lebih dan tidak kurang)
2.      Jika terdapat gejala-gejala yang abnormal segera kontrol.
3.      Dalam penatalaksanaan suatu penyakit harus dipikirkan kelebihan dan kekurangannya.

 DAFTAR PUSTAKA

Djokomoeljanto. 2007. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: EGC.
 Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland-Edisi 29. Jakarta: EGC.
 Ganong. 2008. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
 Guyton, A.C., John E. Hall, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
 Kendall, Pat. 1972. Hyperthyroidism. www.bmj.com
 Liza. 2007. Hipotiroidisme. www.medicastore.com.
 Mansjoer Arif dkk. 2005. kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid I. Jakarta: Mdia Aesculapius.
 Price, Sylvia A and Lorraine M Wilson. 2005. Patofisologi Volume 2. Jakarta: EGC.
 Sacher, Ronald A. and Richard A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 10. Jakarta: EGC.
 Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Jakarta: EGC.
 Wiyono, Paulus. 2007. Tiroiditis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar