Cari Blog Ini

Laman

Selasa, 31 Mei 2011

THT

BAB II
STUDI PUSTAKA

A.    ANATOMI - FISIOLOGI FARING
Faring adalah suatu kantung fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus faucium, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus pharyngeus, dan ke bawah berhubungan esofagus.
Faring terdiri atas:
1.    Nasofaring
Relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring, torus tubarius, kantong Rathke, choanae, foramen jugulare, dan muara tuba Eustachius.
2.    Orofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsilaris, arcus faring, uvula, tonsil lingual, dan foramen caecum.
a.       Dinding posterior faring, penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.
b.      Fossa tonsilaris, berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses.
c.       Tonsil, adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dan ditunjang kriptus di dalamnya. Ada 3 macam tonsil, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual, yang ketiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan.
3.    Laringofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah vallecula epiglotica, epiglotis, serta fossa piriformis.

Fungsi faring yang terutama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara, dan untuk artikulasi.
(Rusmarjono dan Soerjadi, 2007)

B.     ANATOMI – FISIOLOGI LARING
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid, serta beberapa buah tulang rawan, yaitu kartilago epiglottis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis, dan kartilago tritisea. Laring mempunyai beberapa fungsi, antara lain :
-          Proteksi, yaitu mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea dengan jalan menutup aditus laring dan rima glottis secara bersamaan.
-          Refleks batuk
-          Fungsi respirasi, yaitu mengatur besar kecilnya rima glottis
-          Membantu proses menelan
-          Mengekspresikan emosi
-          Fonasi, yaitu dengan membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya nada
(Hermani dkk, 2007)

C.    RHINITIS
1.      Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama.
Gejala dan Tanda : Terdapatnya serangan bersin berulang, keluar ingus yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal yang kadang-kadang disertai dengan keluar air mata. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak.
Terapi : Yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebab. Terapi lain yaitu pemberian antihistamin, kortikosteroid, tindakan operatif, dan imunoterapi.
2.      Rhinitis Vasomotor
Adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat.
Etiologi : disfungsi saraf otonom, peningkatan pelepasan neuropeptida, kadar nitrit oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung, trauma
Gejala : Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi, namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan tergantung posisi pasien. Terdapat juga rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata. Gejala-gejala tersebut sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan nonspesifik, seperti asap rokok, bau menyengat, udara dingin, perubahan suhu, kelelahan, dan stress/emosi.
Terapi : Menghindari faktor pencetus, pengobatan simtomatis (dekongestan oral, cuci hidung dengan larutan garam fisiologis, kortikosteroid topikal), operasi.
3.      Rhinitis simpleks
4.      Rhinitis atrofi
5.      Rhinitis hipertrofi
(Irawati dkk, 2007)

D.    FARINGITIS
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain. Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal. Penularan infeksi melalui sekret hidung dan ludah/droplet infection.
Jenis-jenis faringitis:
1.    Faringitis Akut
a.       Faringitis Viral
Etiologi : Rinovirus
Gejala dan Tanda: Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, dan sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. EBV menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak dan terdapat pembesaran kelenjar limfa seluruh tubuh terutama retroservikal dan splenomegali. Sedangkan virus influenza tidak menghasilkan eksudat.
Terapi: Istirahat dan minum cukup, kumur dengan air hangat, analgetika jika perlu dan tablet isap.
b.      Faringitis Bakterial
Etiologi : infeksi Streptococcus b hemolitikus grup A
Gejala dan Tanda: Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.  Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya.  Beberapa hari kemudian timbul bercak petechie pada palatum dan faring. Kelenjar limfe leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.
Terapi: a) Antibiotik: penicillin G banzatin, amoksisilin, eritromisin, b) Kortikosteroid: deksametason, c) Analgetika, d) Kumur dengan air hangat atau antiseptik.
c.       Faringitis fungal
d.      Faringitis gonorea
2.    Faringitis Kronik
Faktor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring, dan debu.
a.       Faringitis kronik hiperplastik
Terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring menjadi tidak rata dan bergranular.
Gejala: Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk yang beriak.
Terapi: Pengobatan simtomatis dengan obat kumur atau hisap. Jika perlu dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
b.      Faringitis kronik atrofi
Sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis atrofi udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring.
Gejala dan Tanda: Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Tampak mukosa faring ditutupi lendir kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
Terapi: Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofi dan untuk faringitisnya ditambahkan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.
(Rusmarjono dan Efiaty, 2007)

E.     TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Penyebaran infeksi melalui udara, tangan, dan ciuman. Terjadi terutama pada anak. Jenis-jenisnya:
1. Tonsilitis Akut
a.    Tonsilitis viral
Gejala: Lebih menyerupai common cold disertai nyeri tenggorok. Penyebab tersering adalah EBV.
Terapi: Istirahat, minum cukup, analgetik, dan antivirus jika gejala berat.
b.    Tonsilitis bakterial
Etiologi : kuman grup A Streptococcus β hemoliticus
Gejala dan Tanda: nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tinggi, lesu, nyeri pada sendi, otalgia. Tampak tonsil membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus (kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas yang tampak sebagai bercak kuning). Kelenjar submandibula bengkak dan nyeri tekan.
Terapi: Antibiotik spektrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur mengandung desinfeksan.
Komplikasi: Otitis media akut, sinusitis, abses peritonsil, dll.
2. Tonsilitis Membranosa
a.    Tonsilitis difteri
b.    Tonsilitis septik
c.    Angina Plaut Vincent
d.   Penyakit kelainan darah
3. Tonsilitis Kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Gejala dan Tanda : Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan terisi detritus. Ada rasa mengganjal di tenggorok, kering, dan napas berbau.
Terapi : Terapi lokal ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur atau obat isap. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan jalan napas, serta kecurigaan neoplasma.
(Rusmarjono dan Efiaty, 2007)

F.     HIPERTROFI ADENOID
Adenoid ialah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada dinding posterior nasofaring. Secara fisiologik, adenoid membesar pada anak usia 3 tahun kemudian mengecil dan hilang pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibat dari hipertrofi tersebut akan timbul gangguan tidur, tidur ngorok, retardasi mental, pertumbuhan fisik berkurang, sumbatan koana dan sumbatan tuba Eustachius.
Akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi fasies adenoid, yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan, dan arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang bodoh. Selain itu, dapat juga menyebabkan faringitis dan bronkitis, serta gangguan drainase sinus paranasal sehingga menyebabkan sinusitis kronis.
Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis media akut berulang, otitis media kronik, dan akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik. 
Terapi : adenoidektomi
(Rusmarjono dan Efiaty, 2007)

G.    LARINGITIS
1. Laringitis Akut
Merupakan radang akut laring, pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis (common cold).
Etiologi : bakteri yang menyebabkan radang lokal atau virus yang menyebabkan peradangan sistemik.
Gejala dan Tanda : demam, malaise, suara parau sampai tidak bersuara sama sekali, nyeri ketika menelan atau berbicara, batuk kering dan lama kelamaan disertai dengan dahak kental. Tampak mukosa laring yang hiperemis, membengkak terutama diatas dan bawah pita suara. Biasanya terdapat juga tanda radang akut di hidung, sinus paranasal, atau paru.
Terapi : istirahat berbicara selama 2-3 hari, menghindari iritasi pada laring dan faring, antibiotik (bila peradangan berasal dari paru), pemasangan pipa endotrakea atau trakeostomi apabila terdapat sumbatan laring.
2. Laringitis Kronis
Sering merupakan radang kronis laring disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung, atau bronkitis kronis. Mungkin juga disebabkan oleh penyalahgunaan suara seperti berteriak-teriak atau biasa berbicara keras.
Gejala dan Tanda : suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok sehingga pasien sering berdehem tanpa mengeluarkan sekret. Tampak mukosa laring menebal, permukaannya tidak rata dan hiperemis.
Terapi : mengobati peradangan yang mungkin menjadi penyebab laringitis kronis tersebut, istirahat berbicara.
(Hermani dkk, 2007)

H      Streptococcus
Berdasarkan kemampuan menghemolisa eritrosit, Streptococcus dapat dikelompokkan menjadi hemolitik β (menghemolisa sempurna), hemolitik α (menghemolisa sebagian), dan hemolitik γ (tidak menghemolisa). Selain itu berdasarkan komponen karbohidrat C dalam dinding sel nya, dapat pula dikelompokan menjadi Grup A – H dan Grup K – V. Dinding paling luar adalah protein M yang mempunyai antigen M yang tahan terhadap fagositosis dan merupakan factor virulen utama. Bakteri ini memiliki beberapa produk ekstraseluler, yaitu:
1.      Streptolisin O dan S
adalah toksin yang merupakan dasar sifat beta-hemolisis organisme ini. Streptolisin O ialah racun sel yang berpotensi mempengaruhi banyak tipe sel termasuk neutrofil, platelet, dan organella subsel. Menyebabkan respon imun dan penemuan antibodinya; antistreptolisin O (ASO) bisa digunakan secara klinis untuk menegaskan infeksi yang baru saja. Streptolisin O bersifat meracuni jantung (kardiotoksik).
2.      Eksotoksin Streptococcus pyogenes A dan C
Keduanya adalah superantigen yang disekresi oleh sejumlah strain Streptococcus pyogenes. Eksotoksin pyogenes itu bertanggung jawab untuk ruam penyakit jengkering dan sejumlah gejala sindrom syok toksik streptococcus.
3.      Streptokinase
Secara enzimatis mengaktifkan plasminogen, enzim proteolitik, menjadi plasmin yang akhirnya mencerna fibrin dan protein lain.
4.      Hialuronidase
Banyak dianggap memfasilitasi penyebaran bakteri melalui jaringan dengan memecah asam hialuronat, komponen penting jaringan konektif. Namun, sedikit isolasi Streptococcus pyogenes yang bisa mensekresi hialuronidase aktif akibat mutasi pada gen yang mengkodekan enzim. Apalagi, isolasi yang sedikit yang bisa mensekresi hialuronidase tak nampak memerlukannya untuk menyebar melalui jaringan atau menyebabkan lesi kulit. Sehingga, jika ada, peran hialuronidase yang sesungguhnya dalam patogenesis tetap tak diketahui.
5.      Streptodornase
Kebanyakan strain Streptococcus pyogenes mensekresikan lebih dari 4 DNase yang berbeda, yang kadang-kadang disebut streptodornase. DNase melindungi bakteri dari terjaring di perangkap ekstraseluler neutrofil (NET) dengan mencerna jala NET di DNA, yang diikat pula serin protease neutrofil yang bisa membunuh bakteri.
6.      C5a peptidase
C5a peptidase membelah kemotaksin neutrofil kuat yang disebut C5a, yang diproduksi oleh sistem komplemen. C5a peptidase diperlukan untuk meminimalisasi aliran neutrofil di awal infeksi karena bakteri berusaha mengkolonisasi jaringan inang.
7.      Kemokin protease streptococcus
Jaringan pasien yang terkena dengan kasus fasitis nekrosis parah sama sekali tidak ada neutrofil. Serin protease ScpC, yang dilepas oleh Streptococcus pyogenes, bertanggung jawab mencegah migrasi neutrofil ke infeksi yang meluas.[12] ScpC mendegradasi kemokina IL-8, yang sebaliknya menarik neutrofil ke tempat infeksi. C5a peptidase, meskipun diperlukan untuk mendegradasi kemotaksin neutrofil C5a di tahap awal infeksi, tak diperlukan untuk Streptococcus pyogenes mencegah aliran neutrofil karena bakteri menyebar melalui fasia.
Sebenarnya Grup A Streptococcus β Hemolitikus merupakan penghuni normal nasofaring, tapi bakteri ini juga sering menimbulkan kejadian faringitis streptokokus pada anak usia 5 – 15 tahun (jarang dibawah 3 tahun). Insidensi ini juga tergantung dari umur, musim, iklim, geografis, dan kontak dengan penderita.
 (Todd, 2000)

DAFTAR PUSTAKA

Hermani, Bambang; Soerjadi Kartosoediro; Syahrial M. Hutauruk. 2007. Bab X Disfonia dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Hermani, Bambang; Hartono Abdurrachman; Arie Cahyono. 2007. Bab X Disfonia: Kelainan Laring dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Irawati, Nina; Elise Kasakeyan; Nikmah Rusmono. 2007. Bab IV Sumbatan Hidung: Rinitis Alergi dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Irawati, Nina; Niken L. Poerbonegoro; dan Elise Kasakeyan. 2007. Bab IV Sumbatan Hidung: Rinitis Vasomotor dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Rusmarjono dan Soerjadi Kartosoediro. 2007. Bab IX Nyeri Tenggorok: Odinofagia dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi. 2007. Bab IX Nyeri Tenggorok: Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam Cetakan Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Todd, James. 2000. Infeksi Streptokokus dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15. Jakarta: EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar