BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Paru dan saluran nafas merupakan organ yang mempunyai fungsi untuk menghirup oksigen dari atmosfer dan mengeluarkan karbon dioksida dari dalam tubuh. Dalam melakukan fungsinya ini, paru selalu terpapar oleh berbagai benda asing di antaranya mikroorganisme. Supaya fungsi ini berjalan lancar dan demi mantapnya ketahanan paru, tubuh mengerahkan alat-alat pertahanan baik non spesifilc maupun spesifik sehingga tidak mengherankan pada orang normal saluran nafas bagian bawah tetap steril. Banyak faktor yang diketahui bisa menyebabkan gangguan pertahanan ini, di antaranya yang sering adalah infeksi saluran nafas atas, merokok, alergen dan penyakit paru obstruktif menahun (PPOM). Dengan terganggunya kestabilan paru dan saluran nafas, ditambah dengan adanya pemaparan mikroorganisme, zat yang dianggap asing oleh tubuh maka fungsi respirasi tubuh manusia akan ikut terganggu. Sehingga akan menimbulkan manifestasi klinis penyakit pernafasn antara lain: batuk, sputum, hemoptisis/batuk darah, dispneu/sesak nafas, wheezing.(Price dan Lorraine, 2005)
Semakin bertambahnya jumlah penyakit pernafasan, membuat pentingnya mengetahui berbagai penyakit pernafasan baik akut, kronik, obstruktif maupun restriktif, hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kompetensi dokter. Pengetahuan tentang pathogenesis, manifestasi klinis sangat diperlukan oleh seorang dokter untuk mendiagnosis penyakit tersebut kemudian melakukan penatalaksanaan yang tepat. Sehingga, dengan kompetensi tersebut dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit pernafasan. Oleh karena itu, dalam laporan ini akan dibahas tentang penyakit paru yang sering terjadi dimasyarakat beserta pathogenesis, manifestasi klinis, penegakan diagnosisnya dan penatalaksanaannya.
Skenario
Seorang lelaki usia 18 tahun merasakan batuk yang tidak berkurang sejak 3 hari yang lalu. Batuk yang diirasakan mula-mula tidak disertai dahak, akan tetapi sejak tadi pagi mulai batuk berdahak, bahkan sekarang mendadak menjadi sesak nafas. selain itu penderita juga mengalami demam. Sebelumnya penderita membersihkan rak buku-buku lama ayahnya yang penuh dengan debu.
Penderita segera datang ke dokter keluarganya, di sana dokter memeriksa pasien untuk mendapatkan gejala dan tanda respirasi lainnya. Pada pemeriksaan auskultasi penderita ditemukan wheezing yang jelas. Dokter tersebut ingat, kakak penderita juga menderita penyakit paru kronik yang pada rontgen thoraksnya menunjukkan gambaran honeycomb appearnce tetapi tidak pernah ditemukan wheezing. Selanjutnya dokter tersebut memberi obat pada penderita tersebut 2 macam obat yang berbeda fungsinya.
Hipotesis
Seorang laki-laki 18 tahun didiagnosis menderita asma sesuai dengan gejala-gejala yang dikeluhkan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana proses terjadinya batuk menjadi batuk berdahak kemudian sesak nafas dengan disertai demam?
2. Bagaimanakah hubungan riwayat inhalasi debu dengan terjadinya gejala tersebut?
3. Apakah kemungkinaan diagnosis penyakit penderita, bagaimanakah cara menegakannya?
4. Apakah ada hubungan riwayat penyakit kakak dengan penderita?
5. Bagaimanakah proses terjadinya honeycomb?
6. Apakah kemungkianan obat yang diberikan dokter tersebut?
7. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis terhadap penderita tersebut?
C. TUJUAN
1. Mengetahui fisiologi, histology, anatomi sistem respirasi
2. Mengetahui proses manifestasi klinik dari penyakit pernafasan
3. Mengetahui tanda dan gejala gangguan pernapasan
4. Mengetahui manifestasi klinis, patofisiologi, pathogenesis, penegakan diagnosis, penatalaksanaan dari penyakit paru.
D. MANFAAT
1. Mengetahui dasar-dasar dari sistem respirasi.
2. Mampu menganalisa data-data yang ada dan mengerucutkan pemikiran agar dapat mendiagnosis dalam suatu kasus khusunya pada penyakit paru.
3. Mengetahui seluk beluk dari penyakit respirasi.
BAB II
STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI SISTEM RESPIRASI
1. Struktur Utama
a. Saluran Udara Pernapasan Bagian Atas (Jalan Napas)
Jalan napas meliputi lubang hidung, pharing dan laring. Lubang hidung atau nares tempat masuknya udara. Pharing adalah bagian tractus digestivus dan tractus respiratorius yang terletak dibelakang cavum nasi (nasopharing), cavum oris (oropharing), dan laring (Laryngopharing0. Sedangkan laring merupakan tractus respiratorius yang akan berlanjut sebagai trachea.
b. Saluran Udara Pernapasan Bagian Atas (Saluran Napas)
Batas saluran pernapasan atas dan bawah adalah kartilago krikoidea. Saluran udara pernapasan meliputi trachea, bronkus, dan bronkiolus. Trachea merupakan suatu tabung cartilaginea dan membranosa, membentang dari tepi bawah larynx setinggi vertebrae cervical VI hingga angulus sterni setinggi vertebrae thoracica IV-V. Disusunn oleh sekitar 20 lapis kartilago yang berbetuk huruf C dan berakhir ketika bercabang di karina. Pada ketinggian vertebralis thoracica IV atau setinggi sambungan antara manubrium dengan iga kedua kanan, trachea bercabang dua di karina menjadi bronchus principalis dexter et sinister.
Bronchus principalis dexter lebih besar, lebih pendek, dan lebih vertical disbanding bronchus principalis sinister. Masing-masing bronchus principalis akan bercabang menjadi bronchus secundus dimana jumlahnya sesuai jumlah lobus dari pulmo. Bronchus ini akan bercabang menjadi bronchus segmentalis yang jumlahnya sesuai dengan jumlah segmen pulmo. Kemudian bronchus segmentalis akan bercabang menjadi bronchiolus, lalu bronchiolus terminalis, bronchiolus respiratorius, ductus alveolaris, dan berakhir sebagai alveoli pulmo.
2. Struktur Pelengkap
Yang digolongkan ke dalam struktur pelengkap system pernapasan adalah struktur penunjang yang diperlukan untuk bekerjanya system pernapasan itu sendiri. Struktur pelengkap itu sendiri adalah dinding dada yang dibentuk oleh tulang, otot, serta kulit
(Djojodibroto, 2009)
B. HISTOLOGI SISTEM RESPIRASI
Sistem respirasi dibagi dalam 2 bagian utama:
1. Bagian Konduksi
Bagian ini terdiri dari rongga hidung dengan sinus paranasal, faring, laring, trachea, bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminalis. Bagian ini punya 2 fungsi utama, yaitu menyediakan sarana mengalirnya udara ke dan dari paru serta menyiapkan udara yang masuk (membersihkan, melembabkan, dan menghangatkan)
2. Bagian Respirasi
Merupakan tempat berlangsungnya tempat pertukaran gas, yang meliputi duktus alveolaris, atrium, saccus alveolaris, dan alveoli. Antara alveoli dipisahkan oleh septum alveolaris yang mengandung beberapa sel yaitu sel utama (Sel epitel alveoli (pnemosit I), Sel Septal (Pnemosit II), Endotel Kapiler) dan sel tambahan (Makrofag Alveoler (dust Cell, Heart fillure cell,siderifag), Fibroblas, Sel-sel Darah).
(Junqueira et.al, 1997)
C. FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI
Respirasi merupakan suatu prses pertukaran gas (pengambilan oksigen dan eliminasi karbondioksida) antara organisme dengan lingkungan. Ada 2 jenis respirasi, yaitu respirasi eksternal (pertukaran gas antara darah dan atmosfer) dan respirasi internal (pertukaran gas antara darah sirkulasi dan sel jaringan. Ada 4 proses dalam respirasi, yaitu ventilasi, respirasi eksternal, transportasi gas melalui darah, respirasi internal, dan metabolisme pengguanaan oksigen di dalam sel serta pembuangan oksigen.
1. Ventilasi
Ventilasi merupakan proses pergerakan udara ke dan dari paru. Fungsinya adalah untuk menyediakan atau menyalurkan oksigen di udara luar yang dibutuhkan sel untuk metabolisme dan membuang karbondioksida hasil sisa metabolisme. Agar proses ventilasi ini dapat berlangsung sempurna diperlukan fungsi yang baik dari saluran pernapasan, otot-otot pernapasan serta elastisitas jaringan paru dan dinding thoraks.
Proses respirasi sangat dipengaruhi oleh adanya pengembangan dan pengempisan paru dan rongga dada. Kemampuan untuk mengembang dari rongga paru dan dinding rongga dada disebut complience. Sedangkan kemapuan untuk mengecil disebut elastisitas. Proses inspirasi memerlukan daya elastisitas aktif, sedangkan ekspirasi memerlukan daya elastisitas pasif. Daya elastisitas dipengaruhi oleh jalinan serabut elastin dan serabut kolagen di antara parenkim paru. Daya pengembangan paru dihambat oleh tegngan permukaan pada alveolus sehingga menyebabkan juga pengempisan alveoli saat ekspirasi. Tegangan permukaan itu diatur oleh surfaktan, suatu zat yang dihasilkan oleg sel pneumosit tipe II. Fungsi surfaktan ini selain untuk menurunkan tegangan permukaan juga untuk membersihkan alveolus dari bakteri dan debris.
Ada 2 proses dalam ventilasi, yaitu proses inspirasi dan proses ekspirasi. Pada prinsipnya gas bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan yang rendah. Inspirasi terjadi bila tekanan intraalveoli lebih rendah dibanding tekanan udara luar. Hal ini disebabkan oleh mengembangnya rongga thoraks akibat kontraksi otot-otot inspirasi dan kontraksi otot diafragmasehingga diafragma turun ke bawah dan rongga dada membesar. Sedangkan ekspirasi terjadi sebaliknya.
2. Respirasi Eksternal
Setelah alveoli diventilasi dengan udara segar, selanjutnya adalah difusi oksigen dari alveoli ke pembuluh darah dan sebaliknya. Difusi gas ini akan terjadi dari daerah konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Kecepatan difusi berbanding langsung dengan tekanan yang disebabkan oleh gas itu sendiri (tekanan parsial gas). Jika tekanan parsial lebih besar pada fase gas di alveoli (oksigen) maka molekul ini akan berdifusi dalam darah. Dan jika tekanan parsial gas lebih besar pada tekanan terlarut dalam darah (karbondioksida) maka difusi ke arah alveoli.
3. Transport gas melalui darah
Di dalam darah terdapat hemoglobin, yang nantinya akan mengangkut oksigen untuk dialirkan ke dalam jaringan dan karbondioksida ke alveoli. Ikatan karbondioksida dengan hemoglobin adalah ikatan longgar, sehingga karbondiaksida mudah dilepaskan ke alveoli yang memiliki tekanan parsial yang lebih rendah.
4. Respirasi Internal (prinsipnya sama dngan respirasi eksternal)
5. Metabolisme penggunaan oksigen di dalam sel serta pembuangan karbondioksida
(Djojodibroto, 2009; Price dan Lorraine, 2005)
D. TANDA DAN GEJALA GANGGUAN PERNAPASAN
1. Batuk
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi peradangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran nafas bagian bawah (Price dan Lorraine, 2005). Bronkus dan trakea memiliki respon yang sangat peka terhadap benda asing yang masuk ataupun iritasi di tempat tersebut ehingga dapat menimbulkan reflex batuk. Laring dan karina (tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus) adalah yang sangat peka (Guyton dan Hall, 2007). Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia, dan peradangan. Inhalasi asap, debu, dan benda-benda asing kecil merupakan penyebab batuk yang paling sering (Price dan Lorraine, 2005).
Refleks batuk terjadi akibat teransangnya reseotor batuk yang terdapat disaluran nafas ataupun diluar saluran nafas, oleh rangsangan yang bersifat kimiawi maupun mekanis. Reseptor batuk yang merupakan ujung n.vagus terdapat diantara sel-sel epitel berambut getar dari faring sampai bronkialus, hidung, sinus, paranasalis, saluran telinga dan selaput gendang, pleura, lambung, pericardium dan diafragma (Price and Lorraine, 2007).
Mekanisme batuk diawali dengan terangsangnya reseptor saraf aferen yang akan meneruskan impuls menuju nervus vagus di medulla oblongata. Rangsangan balik berupa: pertama, kira-kira 2,5 liter udara diinspirasi. Kedua, epiglottis menutup, dan pita suara menutup erat untuk menjerat udara di dalam paru-paru. Ketiga, otot perut berkonstraksi dengan kuat mendorong diafragma, sedangkan otot-otot ekspirasi lainnya juga berkonstraksi dengan kuat. Akibatnya tekanan dalam paru meningkat sampai 100 mmHg atau lebih. Keempat, pita suara dan epiglottis tiba-tiba terbuk alebar, sehingga udara bertekanan tinggi dalam paru meledak keluar. Selanjutnya, penekanan kuat pada paru yang menyebabkan bronkus dan trakea menjadi kolaps sehingga bagian yang tidak berkartilago ini kolaps berinvaginasi ke dalam, akibatnya, udara yang meledak tersebut benar-benar mengalir melalui celah-celah bronkus dan trakea (Guyton dan Hall, 2007).
2. Sputum
Orang dewasa normal menghasilkan mukus sekitar 100 ml dalam saluran nafa setiap hari. Mukus ini diangkut menuju faring dengan gerakan pembersihan normal silia yang melapisi saluran pernafasan. Kalau terbentuk mukus yang berlebihan, proses normal pembersihan mungkin tak efektif lagi, sehingga akhirnya mukus tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang, dan mukus dibatukkan keluar sebagai sputum. Pembentukan mukus yang berlebihan mungkin disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi atau infeksi pada membran mukosa.
Pada trakea dan bronkus, selain terdapt silia juga terdapat mucus. Sekresi mucus ini dilakukan oleh el-sel goblet yang melekat pada epitel pseudokomplek kolumner. Produksi mucus ini bermanfaat dalam melekatkan partikel-partikel kecil halus yang mnauk ke saluran nafas bawah dan tidak bisa keluar melalui mekanisme batuk biasa. Setelah partikel asing yang masuk terjerat dalam mucus, aka nada mekanisme lanjut berupa reflex batuk berdahak. Sehingga batuk berdahak merupakan reflek batuk yang disertai dengan pengeluaran sputum atau dahak yang berasal dari akumulasi mucus dengan leukosit polimorfonuklear (bila sudah timbul reaksi imunologis).
(Price dan Lorraine , 2005)
3. Dispnea
Dispnea sering disebut sebagai sesak napas, napas pendek, breathlessness, atau shortness of breath. Dispnea adalah gejala subjektif berupa keinginan penderita untuk meningkatkan upaya mendapatkan udara pernapasan. Karena sifatnya subjektif, dispnea tidak dapat diukur. Tingkat keparahannya dipengaruhi oleh respon penderita, kepekaan (sensitivitas), dan kondisi emosi. Meskipun sangat subjektif, dispnea dapat ditentukan dengan melihat adanya upaya bernapas aktif dan upaya menghirup udara lebih banyak (labored and distressful breathing). Perlu diingat bahwa adanya peningkatan frekuensi napas yang ringan (mild), dalamnya tarikan napas, serta perubahan irama napas tidak selalu menunjukkan adanya dispnea.
Dispnea sebagai akibat peningkatan upaya bernapas dapat ditemui pada berbagai kondisi klinis penyakit. Penyebabnya adalah meningkatnya tahanan jalan napas seperti pada obstruksi jalan napas atas, asma, dan pada penyakit obstruksi kronik. Berkurangnya keteregangan paru yang disebabkan oleh fibrosis paru, kongesti, edema, dan pada penyakit parenkim paru, psikologis (kecemasan, sindrom hiperventilasi), hematologi (anemia kronik) dapat menyebabkan dispnea. Kongesti dan edema biasanya disebabkan oleh abnormalitas kerja jantung.
Penyebab lainnya adalah pengurangan ekspansi paru seperti pada efusi pleura, pneumotoraks, kelemahan otot, deformitas rongga dada, bahkan karena posisi penderita (ortopneu, platipneu, dan trepopneu) atau karena aktivitas yang dilakukan penderita (exertional dyspnea).
Selain gejala diatas, terdapat pula beberapa gejala objektif dari dispnea, diantaranya adalah pernapasan cuping hidung, takipnea, takikardi, hiperventilasi, dan penggunaan otot – otot pernapasan tambahan, yaitu :
- Otot-otot yang berperan dalam inspirasi auxilar:
- Musculus Scaleni
- Musculus Sternocleidomastoideus
- Musculus Pectoralis Mayor et Minor
- Musculus Latissimus Dorsi
- Musculus Serratus anterior
- Otot-otot yang bekerja pada ekspirasi auxilar:
- Musculus Obliquus Externus et internus Abdominis
- Musculus transversus Abdominis
- Musculus Rectus Abdominis
(Djojodibroto, 2009)
4. Mengi atau wheezing
Mengi adalah napas yang berbunyi seperti bunyi suling yang menunjukkan adanya penyempitan saluran napas, baik secara fisiologik (oleh karena dahak) maupun karena anatomic (oleh karena konstriksi). Wheezing dapat terjadi secara difus diseluruh dada seperti dada seperti pada asma atau secara lokal seperti pada penyumbatan oleh lender atau benda asing. Wheezing juga dapat timbul saat melakukan kegiatan agak berat (exercise induced). Jika wheezing didahului oleh batuk di malam hari saat tidur, mungkin disebabkan oleh aspirasi refluks esofagus. Wheezing juga dapat disebabkan oleh central venous pooling akibat adanya gagal jantung.
(Djojodibroto, 2009)
5. Nyeri Dada
Selain sebab sebab dari dalam rongga dada, ada pula sebab yang lain, missal : iritasi pada diafragma perifer (dihantarkan ke dinding dada terdekat), dan iritasi pada diafragma sentral (dihantarkan melalui nervus frenikus dan dapat dirasakan pada daerah trapezius ipsilateral pada basis leher dan bahu).
(Djojodibroto, 2009)
E. ASMA BRONCHIAL
Asma Bronkial adalah serangan berulang dispnea paroksismal, dengan radang jalan napas dan mengi akibat kontraksi spasmodik bronkus. (Dorland, 2006). Penyakit asma memang sering disebut sebagai asma bronkhial, karena tempat predileksi biasanya terjadi pada bronchiolus. Karena brochiolus merupakan salurun yang kecil dimana tidak memiliki tulang rawan dan hanya mempunyai otot polos, maka saat ekspirasi sering mengalami kolaps. Berdasarkan etiologinya,asma dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu
1. Asma bronchial intrinsik / tipe non atopi I (asma idiopatik)
Keluhannya tidak ada hubungannaya dengan exposure allergen. Sifat-sifatnya, yaitu serangan timbul setelah dewasa, tidak ada riwayat asma, infeksi sering menimbulkan asma, ada hubungannya dengan pekerjaan atau beban fisik, stimuli psikis juga berperan, perubahan lingkungan non spesifik peka bagi penderita.
2. Asma bronchial ekstrinsik / tipe atopi I
Keluhan yang ditimbulkan berhubungan dengan exposure allergen yang spesifik, dapat dibuktikan dengan uji kulit atau tes provokasi bronkus. Jenis ini timbul sejak anak-anak, ada riwayat keluarga tentang asma, sering menderita rhinitis, adanya riwayat atopi saat lahir seperti hay fever, dermatitis atopi, dll.
3. Asma bronchial campuran
Asma jenis ini merupakan gabungan dari asma intrinsik dan ekstrinsik. sebagian besar kasus intrinsik akan berlanjut menjadi bentuk campuran, sedangkan yang ekstrinsik sering sembuh sempurna saat dewasa.
Penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan oleh bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan deskuamasi sel epitel serta sel radang. Berbagai rangsangan non spesifik dengan jalan nafas yang hipereaktif sehingga terjadi respon bronkokonstriksi. Penyumbatan yang paling berat adalah saat ekspirasi karena jalan nafas intratoraks biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi. Walau penyumbatan jalan nafas difus, penyumbatan ini tidak seragam semua di seluruh paru. Atelektasis segmental dan subsegmental dapat terjadi yang akhirnya dapat memperburuk ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Agar jalan napas tetap terbuka dan pertuklaran tetap lancar, tubuh mengalami hiperinflasi (pengemabangan secara berlebihan pada paru). Akibatnya terjadi penurunan kelenturan dan peningkatan kerja pernapasa. Ketidak seimbangan ventilasi dengan perfusi, hipoventialsi alveolar, dan bertambahnya kerja pernapasan terjadi peubahan gas-gas darah. Penurunan tekanan parsial oksigen merupakan kelainan pada asma sub klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi agar kebutuhanoksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran karbonmonoksida menjadi berlebih sehingga tekanan parsial karbonmonoksida menurun sehingga dapat menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napasa dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadiya petukaran gas sehingga hipoksemia dan otot-otot pernapasan bertambah berat sehingga terjadi peningkatan produksi karbonmonoksia. Peningkatah produksi tersebut disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menimbulkan retensi karbonmonoksida sehingga terjadi asidosis respiratorik yang dapat berakibat gagal napas.
(Sukamto dan Heru, 2007; Proce dan Lorraine, 2005; Nelson, 2000)
F. BRONKIEKTASIS
Bronkiektasis adalah pelebaran menetap bronkus dan bronkiolus akibat kerusakan otot dan jaringan elastic penunjang, yang disebabkan oleh atau berkaitan dengan infeksi nekrotikans kronis. Penyakit yang paling sering menjadi predisposisi bronkiektasis adalah:
1. Obstruksi bronkus
2. Kelainan congenital atau herediter
3. Pneumonia nekrotikans atau supuratif
Terdapat dua factor penting yang saling kait dalam pathogenesis bronkiektasis: (1) obstruksi dan (2) infeksi persisten kronis. Bronkiektasis biasanya mengenai lobus bawah secara bilateral, terutama saluran udara yang paling vertical. Jika penyebab bronkiektasisnya adalah tumor atau aspirasi benda asing, kelainan mungkin hanya mengenai satu segmen paru. Biasanya bagian yang paling parah terkena adalah di bronkus dan bronkiolus distal. Saluran nafas mungkin melebar hingga empat kali garis tengah normal dan pada pemeriksaan makroskopi paru pelebaran tersebut dapat ditelusuri hingga ke permukaan pleura.
Temuan histologik bervariasi sesuai aktivitas dan kronisitas penyakit. Pada kasus aktif yang telah berkembang sempurna, terdapat eksudat peradangan akut dan kronis yang intens di dalam dinding bronkus dan bronkiolus serta fibrosis peribronkus terbentuk pada kasus kronis. Jika terjadi penyembuhan, lapisan epitel dapat mengalami regenerasi sempurna; namun, biasanya cedera sudah sedimikian luas sehingga tetap terjadi dilatasi dan pembentukan jaringan parut. Pada beberapa kasus, nekrosis merusak dinding bronkus atau bronkiolus sehingga terbentuk abses paru.
Gambaran klinis berupa batuk hebat persisten disertai pengeluaran sputum mukopurulen, kadang-kadang berbau busuk. Sputum mungkin mengandung bercak-bercak darah; dapat terjadi hemaptoe. Gejala sering episodic dan dipicu oleh infeksi saluran nafas atas atau masuknya pathogen baru. Mungkin ditemukan jari gada. Pada kasus bronkiektasis yang parah dan luas, terjadi gangguan ventilasi yang bermakna, disertai hipoksemia, hiperkapnia, hipertensi pulmonaris, dan kor pulmonale. Abses otak metastatuk dan amiloidosis reaktif merupakan penyulit lain yang jarang ditemukan.
(Robbins, 2004)
G. PNEUMONIA
Pneumonia adalah penyakit pernafasan akut yang menyebabkan perubahan gambaran radiologis. Penyakit ini dikelompokkan berdasarkan tempat terjadinya penularan. Secara garis besar dikelompokkan menjadi 2 yaitu pneumonia yang didapatkan di masyarakat (Pneumonia Komunitas / PK) dan pneumonia yang didapatkan di rumah sakit ( Pneumonia Nosokomial / PN).
1. Pneumonia Komunitas
Penyakit ini sangat sering terjadi. Insidensi di masyarakat 1-3/1000 orang dewasa. Seperempat jumlah kasus membutuhkan perawatan di rumah sakit. Pneumonia cenderung terjadi pada usia ekstrem, namun tetap merupakan penyebab morbiditas yang penting dan bahkan penyebab mortalitas pada dewasa muda. Penyebab infeksi terjadi melalui droplet. Yang dapat menyebabkan infeksi diantaranya yaitu Pneumococcus, Mycoplasma, H. Influenzae, Staphylococcus. Organisme bermultiplikasi dalam paru, dan jika telah berhasi mengalahkan mekanisme pertahanan paru terjadi pneumonia. Kebiasaan merokok melemahkan pertahanan lokal karena menekan fungsi silier.
Demam dan batuk merupakan gejala umum. Bisa juga nyeri dada dan sesak nafas. Gambaran sistemik (lebih sering terjadi namun tidak spesifk untuk pneumonia atipik) diantaranya nyeri kepala, confusion, mialgia, dan malaise. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan tanda-tanda konsolidasi lokal dan ronki basah pada lobus yang terkena. Takipnea, hipotensi, confusion, dan sianosis merupakan tanda beratnya penyakit. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain :
1. Terapi suportif umum: cairan intravena, O2, dan fisioterapi.
2. Terapi antibiotik: pada pneumonia berat digunakan sefalosporin intravena (serufoksim) dan makrolida (eritromisin, klaritromisin) sedangkan pada kasus lebih ringan digunakan ampisilin menggantikan sefalosporin dan pada kasus ringan dapat diberikan amoksisilin saja.
2. Pneumonia Nosokomial
Penyakit ini lebih sering terjadi pada manula, merupakan 2,5% komplikasi dari seluruh perawatan di rumah sakit dan 10-15% dari semua kasus infeksi yang didapat di rumah sakit. Terdapat beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan seorang pasien mengalami pneumonia di rumah sakit yaitu meningkatnya risiko aspirasi, menurunnya pertahanan tubuh, dan pemakaian alat melalui paru atau kulit yang mengganggu pertahanan tubuh normal. Walaupun organisme penyebab pneumonia yang didapat di masyarakat juga menyebabkan infeksi di rumah sakit tetapi bakteri Gram-negatif, Staphylococcus aureus, dan organisme anaerob lebih sering ditemukan. Penderita penyakit paru yang mengalami pneumonia pasca operasi masih sangat mungkin mengalami infeksi pneumokokus atau hemofilus.
Gambaran klinis yang ditemukan sama dengan pada pneumonia yang didapat di masyarakat. Tingkat berat penyakit seringkali lebih tinggi akibat adanya penyakit yang mendasari. Penatalaksanaannya antara lain :
1. Terapi suportif umum: cairan intravena, O2, dan fisioterapi.
2. Terapi antibiotik spesifik diperlukan untuk membasmi organisme Gram-negatif yang resisten terhadap antibiotik yang diberikan pada pneumonia yang didapat dalam masyarakat. Antibiotik untuk pneumonia nosokomial adalah Sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim) dan aminoglikosida, tienamisin (imipenem, meropenem), penisilin antipseudomonas (piperaziln atau tazobaktam), juga pertimbangkan pemberian antistafilokokus.
(Davey, 2005)
H. PENYAKIT PARU PETANI
Penyakit paru pada petani disini dibedakan menjadi dua macam, yaitu farmers' lung dan bagassosis. Farmers' Lung disease adalah suatu penyakit paru pada petani padi dan gandum, akibat paparan debu jerami. Penyebabnya adalah jamur Thermophilic actinomycetes vulgaris yang terdapat pada jerami yang sedang membusuk. Bagassosis adalah suatu penyakit paru yang dialami oleh para petani, pekerja pabrik tebu, atau pabrik kertas yang terpapar sisa atau debu batang tebu (bagasse). Penyebabnya adalah jamur Thermophilic actinomycetes sacchari yang hidup subur pada alas batang tebu. Kedua penyakit ini termasuk pneumonitis hipersensitif akibat inhalasi debu organis (yakni jerami padi, gandum, dan sisa batang tebu).
Gejala muncul 4-8 jam setelah terpapar, timbul gejala seperti infeksi paru akut: Batuk, Sesak nafas tanpa mengi, demam, menggigil, diaforesis (berkeringat), malaise, mual, sakit kepala. Tanda yang dapat ditemukaan pada pemeriksaan fisik , yaitu takikardia, takipnea, sianosis, ronki basah di basal kedua paru. Gejala tersebut umumnya menetap selama 12-18 jam dan menghilang spontan bila tidak lagi terpapar. Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan hal- hal berikut:
1. Pada penyakit yang ringan, gambaran foto thorax masih normal.
2. Pada penyakit yang berat, ada dua bentuk:
a. Tampak gambaran nodul-nodul kecil terpencar di kedua lapangan paru dan agak berkurang pada bagian apek dan basal. Nodul-nodul kecil tersebut ukurannya bervariasi dari satu sampai beberapa milimeter, dengan batas tidak tegas.
b. Tampak bayangan berawan di interstitial kedua paru. Bila paparan debu jerami telah terhenti, kelainan foto thorax dapat kembali normal dalam beberapa minggu.
Penatalaksaanya diantaranya:
1. Umumnya bersifat suportif.
2. Pemberian kortikosteroid selama serangan akut mempercepat resolusi dan pada periode kronis dapat mengurangi atau menghilangkan gejala.
Beberapa pasien farmers' lung dan bagassosis dapat menjadi kronis menyerupai bronkitis kronis dan bila terus terpapar debu, maka dapat menjadi fibrosis paru yang irreversible.
(Sudoyo, 2006)
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, seorang laki-laki yang berusia 18 tahun mengalami batuk yang tidak berkurang sejak 3 hari yang lalu. Mula-mula batuk tidak disertai dahak, kemudian berlanjut hingga berdahak san sesak napas. Penderita juga mengalami demam. Sebelumnya penderita membersihkan rak buku yang penuh dengan debu. Dari riwayat keluarga, didapatkan kakaknya menderita penyakit paru kronik dengan gambaran honeycomb pada foto rontgen thoraxnya, namun tidak ditemukan adanya wheezing. Sedangkan pada pemeriksaan auskultasi penderita didapatkan wheezing yang jelas. Dokter memberi 2 macam obat yang berbeda fungsinya.
Refleks batuk merupakan refleks normal yang berfungsi untuk melindungi paru-paru dari aspirasi. Trakea, laring, karina dan bronkus yang merupakan bagian dari sistem pernapasan sensitif terhadap sentuhan halus, sedang bronkiolus terminalis dan alveolus sensitif terhadap bahan kimia yang korosif seperti sulfur oksida dan klorin. Oleh karena itu, benda asing dalam jumlah berapa pun atau penyebab iritasi lainnya akan menimbulkan refleks batuk (Sherwood, 2008).
Perubahan batuk menjadi batuk berdahak pada penderita mungkin disebabkan karena adanya debu yang merangsang membran mukosa. Secara normal membran mukosa ini melapisi seluruh permukaan saluran napas, dari bronkus sampai bronkiolus terminalis, yang menjaga kelembapan saluran pernapasan. Orang dewasa normal menghasilkan mukus 100 ml/hari yang disekresikan oleh sel goblet dalam epitel saluran pernapasan dan sebagian kecil oleh kelenjar submukosa yang kecil (Price and Lorraine , 2005). Selain untuk menjaga kelembapan permukaan, mukus juga menangkap partikel-partikel kecil dari udara inspirasi dan menahannya agar tidak terus berlanjut ke alveoli. Pada skenario ini, kemungkinan partikel-partikel kecil masuk ke dalam saluran pernapasan saat penderita membersihkan rak buku yang penuh debu. Kemudian mukus yang telah menangkap partikel-partikel kecil tadi akan diangkut menuju faring dengan gerakan pembersihan normal silia yang melapisi saluran pernapasan. Mekanisme pengangkutan menuju faring dapat dijelaskan sebagai berikut. Silia akan terus menerus memukul dan arah kekuatan memukulnya selalu mengarah ke faring. Dengan demikian, silia dalam paru memukul ke arah atas, sedangkan dalam hidung memukul ke arah bawah. Pukulan yang terus-menerus menyebabkan mukus ini mengalir dengan lambat ke arah faring. Namun jika mukus berlebihan, proses pembersihan menjadi tidak efektif, sehingga akhirnya mukus tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang dan mukus dibatukkan keluar sebagai sputum.
Salah satu masalah paling penting pada seluruh bagian saluran pernapasan adalah memelihara supaya saluran tetap terbuka agar dapat keluar atau masuk alveoli dengan mudah. Untuk mempertahankan trakea agar tidak kolaps, terdapat cincin katilagomultipel pada kira-kira lima perenam panjang trakea. Pada dinding bronkus, terdapat lebih sedikit kartilago yang juga mempertahankan rigiditas agar timbul gerakan paru untuk mengembang dan mengempis. Kartilago ini secara progesif semakin sedikit pada generasi akhir bronkus dan tidak dijumpai lagi dalam bronkiolus. Bronkiolus tidak dapat mencegah keadaan kolaps dengan rigiditas dindingnya. Dalam keadaan sakit, bronkiolus memainkan peranan yang besar dalam menentukan pertahanan aliran udara karena ukurannya yang kecil maka akan lebih mudah tersumbat dan karena dindingnya memiliki otot polos dengan persentase yang cukup besar maka akan lebih mudah berkontriksi.
Sesak napas yang terjadi pada penderita mungkin disebabkan karena inhalasi debu dari rak buku sehingga menyebabkan iritasi pada membran epitel saluran pernapasan. Iritasi ini akan mengaktivasi serat saraf simpatis yang berasal dari nervus vagus. Serat-serat ini menyekresikan asetilkolin dan akan menyebabkan kontriksi ringan sampai sedang pada bronkiolus. Selain itu, debu yang terinhalasi tadi, pada beberapa orang dapat menimbulkan reaksi alergi. Selama reaksi alergi, sel mast akan akan melepaskan histamin dan substansi anafilaksis yang bereaksi lambat sehingga akan menyebabkan spasme bronkiolus. Dengan adanya kontriksi dan spasme pada bronkiolus ini maka akan terjadi obstruksi saluran pernapasan sehingga akan terjadi kesusahan saat ekspirasi.
Sedangkan wheezing adalah gejala yang menyertai sesak napas. Wheezing terjadi akibat disfungsi ventilasi yaitu ketidakmampuan dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernapasan. Hal tersebut dikarenakan saluran udara yang menyempit tidak dapat dialiri dan dikosongkan secara cepat (percabangan trakeobronchial melebar dan memanjang saat inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari bronkiolus yang sempit tadi) sehingga udara terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan serta tidak terjadi aerasi paru dan hilangnya ruang penyesuaian normal antara ventilasi dan aliran darah paru. Arus udara akan mengalami turbulensi dan terjadi getaran mukus bronkus sehingga terjadi wheezing saat ekspirasi (Alsagaff, 2004).
Pada riwayat keluarga penderita didapatkan bahwa kakaknya menderita penyakit paru kronik yang pada rontgen thoraxnya menunjukkan gambaran honeycomb appereance tetapi tidak ditemukan wheezing. Gambaran honeycomb appereance merupakan tahap akhir yang terlihat pada paru yang disebabkan kerusakan pembuluh darah paru dan alveoli. Mekanismenya dimulai ketika serangan bakteri virus, fungus, protozoa sel ganas, maupun inhalasi debu dan asap menyebabkan infeksi yang berlanjut pada peradangan hingga kerusakan endotel kapiler alveolus. Kerusakan endotel kapiler alveolus ini kemudian dapat menyebabkan edema pada interstisial, dinding alveolus, dan intraalveolar. Jika kerusakan tersebut ringan, maka akan terjadi pemulihan arsitektuk normal. Namun jika faktor penyebabnya tetap ada, terjadi interaksi sel yang melibatkan limfosit, makrofag, neutrofil, dan sel epitel alveolus yang menyebabkan proliferasi fibroblas dan fibrosis interstisium progresif. Jaringan fibrosis yang berlebihan akan terbentuk sebagai gejala sisa dan mngakibatkan berkurangnya keregangan paru dan terhambatnya difusi gas. Jika fibrosis semakin meluas maka elastisitas paru, kapasitas total paru, dan volume residu akan berkurang. Gambaran honeycomb menunjukkan adanya jaringan ikat paru dalam jumlah berlebihan yang merupakan kelanjutan suatu proses penyakit, yang dalam skenario ini kakak penderita menderita penyakit paru kronis, sehingga menimbulkan suatu peradangan atau nekrosis.
Dengan demikian, dari manifestasi klinis yang terdapat pada penderita dapat diarahkan kepada penyakit asma bronkhial. Pemeriksaan yang paling penting dalam kasus ini sebenarnya adalah tes fungsi paru, yaitu spirometri. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui rasio kapasitas vital ( VCR ) dan rasio volume ekspirasi paksa ( FEV1R ). Jika sudah didapat rasio kapasitas vital dan rasio volume ekspirasi paksa, maka dapat diketahui fungsi paru dengan kriteria sebagai berikut :
Klasifikasi | VCR | FEV1R |
80% atau lebih | 70% atau lebih | |
Restriktif | 80% atau kurang | 70% atau lebih |
Obstruktif | 80% atau lebih | 70% atau kurang |
Kombinasi | 80% atau kurang | 70% atau kurang |
Pentalaksanaannya antara lain:
1. Di luar serangan
v Menjauhi bahan alergen
v Menghindari kelelahan
v Menghindari perubahan suhu yang ekstrim
v Menyembuhkan sinusitis
2. Saat serangan
v Obat pelega
a) Golongan adernergik
Diberikan secara oral, injeksi, hirup, disedu
Kelompok obat yang dipakai short-acting β2-agonist
b) Golongan antikolinergik ( injeksi atau nebulizer )
c) Golongan xanthinergik, yakni aminofilin oral, injeksi atau supositoria
d) Golongan antiinflamatorik, yakni golongan steroid ( peroral, parenteral, inhaler, nebulizer )
v Obat pengendalian jangka panjang
a) long-acting β2-agonist
b) slow release xanthinergic
c) hormon steroid
d) leucotriene modifier
e) cromolyne sodium
f) nedocromyl
v Kombinasi bronkodilator dengan anti inflamasi ( secara inhaler atau nebulizer )
(Danunsantosa, 2000; Tim Kelompok Kerja Asma, 2004)
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Refleks batuk merupakan refleks normal yang berfungsi untuk melindungi paru-paru dari aspirasi.
2. Perubahan batuk menjadi batuk berdahak pada penderita mungkin disebabkan karena adanya debu yang merangsang membran mukosa.
3. Pada skenario ini, kemungkinan partikel-partikel kecil masuk ke dalam saluran pernapasan saat penderita membersihkan rak buku yang penuh debu. Kemudian mukus yang telah menangkap partikel-partikel kecil tadi akan diangkut menuju faring dengan gerakan pembersihan normal silia yang melapisi saluran pernapasan.
4. Sesak napas yang terjadi pada penderita mungkin disebabkan karena inhalasi debu dari rak buku sehingga menyebabkan iritasi pada membran epitel saluran pernapasan. Iritasi ini akan mengaktivasi serat saraf simpatis yang berasal dari nervus vagus.
5. Wheezing terjadi akibat disfungsi ventilasi yaitu ketidakmampuan dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernapasan.
6. Gambaran honeycomb menunjukkan adanya jaringan ikat paru dalam jumlah berlebihan yang merupakan kelanjutan suatu proses penyakit, yang dalam skenario ini kakak penderita menderita penyakit paru kronis, sehingga menimbulkan suatu peradangan atau nekrosis.
7. Penderita kemungkinan menderita asma bronchial ekstrinsik.
B. SARAN
1. Penderita sebaiknya menhindari alergen seperti debu rumah tangga dan kutu rumah, spora-spora jamur, debu-debu yang merupakan produk hewani, serbuk bunga ( pollen ), makanan laut ( ikan, udang, kerang ), kacang-kacangan, telur, susu, dan lain sebagainya.
2. Menghindari kelelahan dan menjaga kebugaran fisik agar sistem imun dapat bekerja dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood et.al. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Bagian Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran UNAIR-RSU Dr.Soetomo.
Danusantoso, Halim. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates.
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Medical Series.
Djojodibroto, R. Darmanto. 2009. Respirologi. Jakarta: EGC.
Ganong, W.F. Alih bahasa: Brahmu Pendit. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C dan John E Hall; alih bahasa Setiawan. 2007. Buku ajar Fisiologi kedoketeran, edisi ke-9. Jakarta : EGC
Junqueira, L.C et.al. 1997. Histologi Dasar Edisi 8. Jakarta: EGC.
Nelson, Waldo et. Al. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC .
Robbins, Stanley R. 2004. Buku Ajar Patologi Robbins Ed. 7 Vol. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sherwood, Lauralee. 2008. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC.
Sudoyo AW, dkk. (ed.). 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia..
Sukamto dan Heru Sundaru. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV: Asma Bronkial. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tim kelompok kerja asma. 2004. ASMA: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar