Cari Blog Ini

Laman

Rabu, 25 Mei 2011

Anemia Defisiensi Besi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun lapangan. Diperkirakan lebih dari 30 % penduduk dunia atau 1.500 juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropic (Bakta, 2007). Jenis anemia yang paling sering dijumpai adalah anemia defisiensi besi karena berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi mengingat sumber terbesar besi adalah bangsa daging-dagingan dan telur yang harganya tidak begitu terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah. Oleh karena itu, perlu dikenal lebih dalam mengenai permasalahan yang sering muncul tersebut agar bisa dilakukan pencegahan ataupun penatalaksanaannya.

Skenario
An. Samson, seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dibawa ke dokter dengan keluhan pucat. Meneurut anamnesis dari ibu, anaknya terlihat pucat sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan lain yang menyertai adalah demam yang tidak terlalu tinggi, perut mual dan susah. Sejak kecil Samson memang tidak suka makan daging. Kata guru Tknya, saat mengikuti pelajaran, Samson sering tertidur di kelas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva pucat, bising jantung, tidak didapatkan hepatomegali maupun splenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8 g/dL. Dokter memberikan tablet tambah darah untuk Samson.

Hipotesis
Samson menderita anemia defisiensi besi karena kurangnya asupan besi.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana mekanisme gejala yang timbul terhadap penyakit yang diderita pasien?
2.      Apa makna pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter?
3.      Apakah makna dari pemeriksaan kadar Hb yang dilakukan dan apakah diperlukan tes laboratorium yang lain untuk mendiagnosis penyakit tersebut?
4.      Mengapa dokter memberikan tablet penambah darah kepada paien?
5.      Bagaimana penatalaksaan untuk penyakit yang diderita pasien?

C.    TUJUAN
1.      Menjelaskan mekanisme eritropoiesis dan pembentukan hemoglobin.
2.      Menjelaskan fisiologi dan patofisiologi sel-sel yang berkaitan dengan penyakit yang diderita pasien.
3.      Memahami mekanisme gejala yang ditimbulkan terhadap penyakit tersebut.
4.      Megetahui manfaat dilkakukannya pemeriksaan fisik dan test laboratorium terhadap diagnosis yang diperoleh.
5.      Mengetahui penatalaksanaan terhadap penyakit tersebut.

D.    MANFAAT
1.      Mahasiswa dapat menganalisis penyakit yang berkaitan dengan heme.
2.      Mahasiswa dapat membaca dan mengaitkan hasil laboratorium dengan diagnosis penyakit.
3.     Mahasiswa dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat dari penyakit yang didiagnosis.

 BAB II
STUDI PUSTAKA

A.    ERITROSIT DAN HEMOGLOBIN
Eritrosit atau bisa juga disebut sel darah merah memiliki bentuk lempeng bikonkaf tetapi dapat berubah-ubah menyesuaikan kapiler yang dilewati sehingga tidak mengalami rupture. Sel ini memiliki fungsi utama pengangkutan hemoglobin yang selanjutnya mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan (Guyton and Hall, 2007). Hemoglobin merupakan pigmen merah pembawa oksigen pada eritrosit (Dorland, 2006). Hemoglobin terbentuk sejak terbentuk sel darah merah.
Proses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis) pada awal kehamilan terjadi di hati, limpa, dan kelenjar limfe. Lalu kira-kira selama bulan terakhir kehamilan dan setelah lahir sampai dengan umur 5 tahun, eritrosit hanya diproduksi di sel darah merah. Kemudian selanjutnya diproduksi oleh sumsum tulang panajng. Setelah umur 20 tahun, sumsum tulang panjang menjadi sangat berlemak dan tidak memproduksi eritrosit, kecuali bagian proksimal humerus dan tibia, sehingga eritropoiesis diambil alih oleh sumsum tulang membranosa (vertebra, sternum, rusuk, dan ilium).
Hematopoiesis dimulai dari sel stem hematopoietik pluripoten, yang merupakan asal dari semua sel dalam darah sirkulasi. Sewaktu sel ini bereproduksi, ada sebagian kecil dari sel ini yang bertahan persis seperti sel-sel pluripoten  dan disimpan di sumsum tulang, sebagian besar berdiferensiasi membentuk suatu jalur khusus pembelahan sel dan disebut commited stem cells. Sel pluripoten akan terus berdiferensiasi yang salah satunya akan membentuk CFU-E , yaitu unit pembentuk koloni eritrosit, yang akan membentuk proeritoblas (sel pertama sebagai rangakaian eritrosit). Sejak fase proeritoblas sintesis hemoglobin (Hb) pun sudah dimulai. Proeritoblas akan membelah menjadi eritroblas basofil dimana masih terkumpul sedikit Hb lalu menjadi eritoblas polikromatofil kemudian menjadi erotroblas ortokromatomatik dimana Hb terkumpul semakin banyak. Setelah itu sampai pada tahap retikulosit dan Hb sudah sangat banyak. Pada fase ini, sel berjalan dari sumsum tulang ke kapiler secara diapedesis (terperas melalui pori-pori membrane kapiler). Di dalam plasma, sel mengalami pematangan dan akhirnya menjadi eritrosit dengan Hb di dalamnya. Sintesis Hb dimulai dari penggabungan 2 molekul suksinil Ko-A dan 2 molekul glisin menjadi pirol. Kemudian 4 pirol bergabung membentuk protoporfirin IX. Protoporfirin IX bergabung dengan besi (fero) menjadi molekul heme. Heme bersama rantai polipeptida menjadi rantai hemoglobin. Lalu 4 rantai hemoglobin (alfa, beta, gama, delta) berikatan longgar menjadi molekul hemoglobin. Tipe rantai tersebut menentukan afinitas ikatan Hb terhadap O2 (Guyton and Hall, 2007).

B.     ERITROPOIETIN
Eritropoietin merupakan suatu glikoprotein sebagai stimulus utama yang merangsang produksi eritrosit, bahkan dalam keadaan O2 yang rendah. Hormon ini dibentuk sebagian besar di ginjal dan sisanya di hati. Hormon epinefrin, norepinefrin, dan prostaglandin akan merangsang produksi eritropoietin. Berdasarkan penelitian, pengaruh utama eritropoietin adalah merangsang produksis proeritroblas dari sel stem pluripoten di sumsum tulang dan mempercepat pertumbuhan menjadi eritrosit (Guyton and Hall, 2007).

C.    ZAT BESI
Besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan. Sebayanyak 4-5 gram di tubuh manusia, 65 % dalam bentuk hemoglobin, 4 % dalam mioglobin, 1 % dalam bentuk variasi senyawa heme yang memicu oksigenasi intrasel, 0,1 % bergabung dengan protein transferin dalam plasma darah, dan 15 – 30 % disimpan untuk penggunaan selanjutnya (Guyton and Hall, 2007). Kebutuhan besi untuk anak usia sekolah adalah 10 mg/hari. Ada 2 macam bentuk zat besi, yaitu heme dan non-heme. Besi heme berasal dari hewani. Besi ini memiliki tingkat absorbsi tinggi karena tidak dihambat bahan lain sehingga bioavailabilitasnya tinggi. Sedangakan besi non-heme berasal dari makanan nabati, memiliki bioavailabilitas rendah karena absorbsinya dihambat oleh fiber (Suega dkk, 2007)
Fungsi zat besi adalah untuk mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan. Metabolisme energi (bekerja sama denganrantai protein pengangkut elektron), penunjang kemampuan belajar (besi sebagai neurotransmitter), sistem kekebalan (mengaktifkan enzim reduktase ribonukleotida untuk sintesis DNA yang menghasilkan sel limfosit untuk imunitas tubuh), dan sebagai pelarut obat-obatan (Almatsier, 2004). Metabolisme zat besi dapat dikelompkkan menjadi 3, yaitu :
-          Fase Luminal
Merupkan tahap pencernaan besi dimana besi dibebaskan dari ikatan organic, seperti protein. Sebagian besar besi dalam bentuk feri direduksi menjadi bentuk fero. Hal ini terjadi dalam suasana asam di lambungdengan adanya HCl dan vitamin C yang terdapat di dalam makanan.
-          Fase Mukosal
Besi dalam bentuk fero diabsorbsi di duodenum dan jejunum proksimal. Besi dalam bentuk fero diubah lagi menjadi bentuk feri untuk diangkut ke mukosa dan diserahkan kepada transferin reseptor dengan bantuan transferin mukosa. Transferin mnrupakan protein yang disintesis oleh hati.
-          Fase Korporeal
Transferin reseptor mengangkut besi dalam bentuk feri dan fero ke jaringan yang membutuhkan. Setelah sampai di sitoplasma, besi yang tidak digunakan berikatan dengan apoferitin membentuk feritin untuk disimpan sebagai cadangan besi dan sebagian sebagai hemosiderin, yang disimpan di hati dan beberapa jaringan lain.
(Almatsier, 2007; Suega dkk, 2007)

D.    ANEMIA
Anemia merupakan penurunan volume eritosit atau kadar Hb di bawah batas normal. Kadar Hb normal untuk anak usia 6 bulan – 6 tahun adalah 10,5 – 14 mg/dL (Nelson et. Al, 2000). Anemia berdasarkan morfologinya dapat diklasifikasikan :
1.      Anemia Hipokromik Mikrositer
Anemia ini memiliki eritrosit pucat dan ukuran sel yang kecil.
2.      Anemia Normokromik Normositer
Anemia ini memiliki warna eritrosit yang normal dan ukuran sel normal.
3.      Anemia Normokromik Makrositer
Warna eritrosit normal tetapi ukuran sel lebih besar dari normal.
Sedangkan berdasarkan etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan:
1.      Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a.       Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
b.      Gangguan penggunaan besi
c.       Kerusakan sumsum tulang
2.      Anemia akibat hemoragi
3.      Anemia hemolitik
Gejala pada anemia juga dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
1.      Gejala umum anemia
Disebut sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar Hb. Biasanya muncul setelah kadar Hb<7 – 8 mg/dL. Tanda-tanda ini bisanya seperti: rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas, dispepsia, pucat pada konjungtiva,mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan di bawah kuku.
2.      Gejala khas masing-masing anemia
·         Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilynochia).
·         Anemia megaloblastik: glositis
·         Anemia hemolitik: ikterus, splenomegaly, hepatomegaly
·         Anemia aplastik: perdarahandan tanda-tanda infeksi
3.      Gejala penyakit dasar
Gejala penyakit dasar bervariasi tergantung penyebab dari anemia jenis tersebut.
(Bakta, 2007)
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien dalam sekenario mengeluhkan gejala pucat sudah sejak 2 bulan yang lalu. Pucat ada yang fisiologis dan ada pula yang anemis. Pucat yang fisiologis berhubungan dengan pigmentasi kulit dan suhu. Sedangkan pucat yang anemis karena berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ yang vital. Oleh karena itu dokter memeriksa konjungtiva karena pada mukosa tidak dipengaruhi oleh pigmentasi kulit. Pemeriksaan lain pada telapak tangan, membran mukosa mulut, bantalan kapiler, dan bantalan kuku (Price and Lorraine, 2007). Pada daerah tersebut terdapat banyak pembuluh darah sehingga dapat dijadikan indikator. Pucat ini sebenarnya tanda anemi secara umum. Anemi bisa menimbulkan gejala seperti yang dialami oleh anak tersebut, seperti sering tertidur di kelas dan ditemukannya bising jantung.
Seseorang yang anemi memiliki kadar Hb yang rendah. Padahal Hb memiliki fungsi mengangkut O2. Semua organ agar dapat bekerja membutuhkan O2 agar dapat menghasilkan energi, termasuk otak. Jika otak tidak mendapat energi, maka akan cepat mengalami lelah, sehingga menimbulkan efek mengantuk. Anemi juga bisa berarti kadar eritrosit yang rendah atau bisa disebut kekurangan darah. Mengingat organ membutuhkan O2, padahal darah yang mengalir sedikit, maka pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi dan jantung akan memompa lebih kencang agar darah tersebut bisa cepat sampai ke organ untuk mengantarkan O2. Dengan begitu aliran darah akan menjadi cepat sehingga menimbulkan suara yang dikenal dengan bising jantung. Bising jantung tersebut mencerminkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat. Oleh karena itu, pada pemeriksaan fisik kepada anak tersebut ditemukan bising jantung yang disebabkan oleh manifestasi dari anemia (Price and Lorraine, 2007). Diagnosis anemia tersebut diperkuat dengan hasil pemeriksaan Hb yang menunjukkan kadar Hb yang rendah. Kurangnya eritrosit maupun hemoglobin akan berdampak juga pada kurangnya asupan oksigen dalam gastrointestinal. Hal ini dapat menyebabkan penimbunan asam laktat pada otot-otot polos sehingga gaster, intestinal, colon, menjadi kelelahan, dan manifestasinya adalah berupa disritmia dan kontraksinya tidak teratur (Bakta, 2007; Sherwood, 2001; Guyton, 1996). Selain kekurangan oksigen keadaan kekurangan besi juga dapat menyebabkan disritmia dan gangguan kontraksi otot karena penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase yang akan menyebabkan glikolisis terganggu sehingga adanya penumpukan asam laktat (Bakta, 2007). Keadaan ini akan menyebabkan mual dan rasa penuh pada perut sehingga pasien sulit untuk makan (Djojoningrat, 2007).
Anak tersebut memiliki kebiasaan tidak suka makan daging, hal ini bisa berkaitan dengan gejala-gejala lain yang ditimbulkannya. Padahal di dalam daging terkandung zat besi yang banyak, walaupun memang juga ada kandungan nutrisi yang lain. Jika anak tersebut kekurangan asupan sumber zat besi, maka anak tersebut akan terjadi defisiensi besi. Mengingat usia 5 tahun merupakan fase pertumbuhan yang sedang cepat-cepatnya, anak tersebut juga membutuhkan asupan zat besi untuk pertumbuhan. Jika cadangan besi yang terdapat di dalam tubuh dipakai untuk pertumbuhan, maka proses tubuh yang lain yang membutuhkan zat besi akan sangat terganggu. Hal tersebut berakibat timbulnya keluhan pasien seperti demam. Zat besi memilki fungsi mengaktifkan enzim untuk sintesis DNA pembentuk sel limfosit T sebagai imunitas tubuh. Dengan menurunnya sistem imun, maka tubuh akan mudah terserang penyakit yang berakibat demam. Selain itu, zat besi juga diperlukan bakteri baik untuk tumbuh agar dapat membasmi bakteri jahat yang dapat menimbulkan penyakit (Suega dkk, 2007).
Dokter tersebut memeriksa adanya hepatomegali dan splenomegali untuk mengidentifikasi apa penyebab terjadinya anemia pada anak tersebut, apakah benar ada kaitannya dengan asupan besi yang kurang atau anemia jenis yang lain. Hasil didapatkan tidak ditemukan adanya pembesaran pada hepar dan splen tersebut, hal ini mengarahkan pada analisis sebelumnya mengenai defisiensi besi. Sayangnya, test lab sebagai diagnosis penunjang hanya dilkukakan pemeriksaan Hb. Hal tersebut belum bisa digunakan untuk diagnosis pasti anemia defisiensi besi. Untuk memastikan adanya anemia defisiensi besi, diperlukan tes-tes lain, seperti MCV (<80 fl), MCHC (<31%), MCH (<27 pg), Fe serum (<12 mg/L), TIBC (>350 μg/dL) (Price and Lorraine, 2007).
Setelah diketahui anemia jenis apa, perlu diketahui juga penyebab anemia jenis tersebut agar penanganan yang dilakukan selanjutnya tepat. Dalam skenario, dokter tersebut memberikan tablet penambah darah. Tablet ini biasanya berisi zat-zat pembentuk darah, salah satunya dalah besi. Sebenarnya, pengobatan awal yang dilakukan adalah pengobatan kausal, yaitu pengobatan terhadap penyebab terjadinya defisiensi besi. Jika tidak begitu, anemia dapat kambuh kembali. Setelah itu baru diberi preparat besi secara oral (ferrous sulphat, ferrous gluconate, ferrous fumarat, frroue lactate, feroous succinate) atau parenteral. Selain itu pengobatan lainnya dapat berupa diet tinggi protein (terutama dari hewani), pemberian vitamin C (mempercepat reduksi besi menjadi fero), dan tranfusi darah. Sebenarnya dalam kasus anemia defisiensi besi, jarang sekali dilakukan tranfusi darah, hanya pada kasus tertentu seperti adanya penyakit jantung anemik, anemia yang simptomatik, dan pasien yang perlu peningkatan Hb yang cepat (pada kehamilan trimester akhir dan praoperasi) (Suega dkk, 2007).

 BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A.    SIMPULAN
1.      Anemia ada banyak macam, tergantung dari morfologi dan etiologinya.
2.      Gejala yang dialami pasien adalah manifestasi dari anemia yang disebabkan oleh defisiensi zat besi.
3.      Zat besi sangat mempengaruhi eritropoiesis, terutama pada pembentukan hemoglobin.
4.      Penanganan pertama yang dilakukan pada pasien adalah dengan mengobati kausal dari penyakit tersebut, kemudian menambah preparat zat yang mengalami defisiensi, dan yang terakhir adalah penanganan tambahan.
5.      Pemeriksaan kadar Hb hanya untuk menentukan pasien tersebut mengalami anemia atau tidak, tetapi belum bisa menentukan jenis anemianya.

B.     SARAN
1.      Untuk melakukan diagnosis pasti dari suatu penyakit diperlukan pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk penyakit tersebut.
2.      Pada masa-masa pertumbuhan perlu ditingkatkan asupan zat besi.

 DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
 Bhakta, I Made. 2007. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Djojoningrat, Dharmika. 2007. Dispepsia Fungsional. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland-Edisi 29. Jakarta: EGC.
 Guyton, A.C., John E. Hall, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
 Nelson, Waldo et. Al. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC.
 Price, Sylvia A and Lorraine M Wilson. 2005. Patofisologi Volume 2. Jakarta: EGC.
 Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Jakarta: EGC.
 Suega, Ketut dkk. 2007. Anemia Defisiensi Besi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar