Cari Blog Ini

Laman

Rabu, 25 Mei 2011

Leukimia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Leukemia merupakan penyakit yang tidak pandang bulu. Semua jenis kelamin baik anak-anak dan dewasa bisa terkena, walaupun dengan persentase yang berbeda-beda. Ada berbagai faktor penyebab yang menimbulkan terkenanya penyakit ini dan menimbulkan jenis leukimia yang berbeda-beda.
Tidak mudah dalam menetapkan jenis leukemia yang diderita. Leukimia merupakan penyakit yang disebabkan oleh sel tumor dan jelas terkait dengan gen yang mengatur. Untuk itu, dalam menetapkan dibutuhkan berbagai test sampai bisa digunakan untuk diagnosis pasti. Tapi tidak semua dokter berhak atas pelasanaan test-test tersebut. Oleh karena itu, harus dilihat kewenangan-kewenangan tiap strata.

Skenario
Ny. Kassian DL, seorang wanita berusia 42 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan lemas, pucat, mudah capai, kadang panas. Keluhan tersebut dirasakan dudah sejak 6 bulan terakhir, akhir-akhir ini sering disertai perdarahan lewat hidung. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: pucat, gizi kesan kurang. Suhu aksiler 38,5oC, frekuensi nadi 108 x/menit, irama teratur, tekanan darah 124/78 mmHg, frekuensi nafas 18 x/menit. Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, papil lidah atrofi, tidak ditemukan pembengkakan gusi. Terdapat limfadenopati leher. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hepatomegali dan splenomegali. Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 7,5 g/dL, jumlah lekosit 24.500/mm3. jumlah trombosit 67x103/mm3. Penderita dianjurkan dirujuk ke rumah sakit.

Hipotesis
Pasien dalam skenario dicurigai menderita leukemia akut.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana mekanisme gejala yang timbul terhadap penyakit yang diderita pasien?
2.      Apa makna pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter?
3.   Apakah makna dari pemeriksaan kadar Hb yang dilakukan dan apakah diperlukan tes laboratorium yang lain untuk mendiagnosis penyakit tersebut?
4.      Mengapa dokter menganjurkan agar pasien dirujuk ke rumah sakit?

C.    TUJUAN
1.      Menjelaskan mekanisme leukopoiesis.
2.      Memahami mekanisme gejala yang ditimbulkan terhadap penyakit tersebut.
3.      Megetahui manfaat dilkakukannya pemeriksaan fisik dan test laboratorium terhadap diagnosis yang diperoleh.
4.      Memahami nilai normal dari hasil pemeriksaan yang dialkukan.

D.    MANFAAT
1.      Mahasiswa dapat menganalisis penyakit yang berkaitan dengan heme.
2.      Mahasiswa dapat membaca dan mengaitkan hasil laboratorium dengan diagnosis penyakit.
3.     Mahasiswa dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat dari penyakit yang didiagnosis.

 BAB II
STUDI PUSTAKA

A.    LEUKOSIT
Leukosit atau sel darah putih merupakan unit sel pertahanan tubuh yang mobil. Sel ini sebagian dibentuk di sumsum tulang (granulosit dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Manfaat sel darah putih yang sesungguhnya ialah sebagian besar diangkut secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius, dengan demikian menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap agen-agen infeksius.
Secara umum ada 2 jenis leukosit, yaitu Granulosit (netrofil, eosinofil, dan basofil) dan Agranulosit (monosit, limfosit, dan sel-sel plasma). Granulosit dan monosit berfungsi melindungi tubuh terhadap organisme penyerang dengan cara fagositosis. Sedangkan limfosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan system imun.
(Price and Lorraine, 2007; Guyton and Hall, 2007)

B.     TROMBOSIT
Trombosit merupakan hasil fragmentasi dari sel megakariosit yang berfunsi dalam proses pembekuan darah (Guyton and Hall, 2007). Keadaan dimana jumlah trombosit turun desibut trombositopenia sedangkan jumlah trombosit yang meningkat disebut trombositosis (Price and Lorraine, 2007).

C.    LEUKOPOIESIS
Leukopoiesis merupakan proses pembentukan sel darah putih. Awal mula leukosit adalah dari sel stem hemopoietik pluripoten. Lalu membentuk suatu jalur diferensiasi yang disebut commited stem cell. Sebelum berkembang menjadi berbagai macam leukosit yang spesifik dibentuk terlebih dahulu suatu koloni pembentuk, yang disebut CFU-S (unit pembentuk koloni limfa). Kemudian membentuk beberapa koloni yang diantaranya CFU-GM, yang nantianya berdiferensiasi menjadi netrofil, basofil, eosinofil, dan monosit, dan CFU-M yang akan berkembang menjadi megakariosit. Sedangkan limfosit terbentuk bukan dari CFU-S, melainkan dari LSC (Lymphoid Stem Cell). LSC ini akan berkembang menjadi Limfosit-T dan Limfosit-B.
(Guyton and Hall, 2007)

D.    PERADANGAN DAN LINI PERTAHANAN TUBUH
Peradangan merupakan perubahan sekunder di sekeliling jaringan yang cedera dimana efek dari zat yang dikeluarkan jaringan tersebut. Peradangan atau inflamasi memiliki ciri-ciri:
-          Vasodilatasi pembuluh darah lokal
-          Peningkatan permeabelitas kapiler
-          Sering terjadi pembekuan caitan di ruang interstisial
-          Migrasi granulosit dan monosit yang banyak ke jaringan
-          Pembengkakan sel jaringan.
Bila diaktifkan oleh produk infeksi dan peradangan, efek mula-mula terjadi adalah pembengkakan setiap sel dengan cepat sehingga banyak makrofag yang sebelumnya terikat kemudian lepas dari perlekatannya dan menjadi mobil. Hal tersebut merupakan lini pertama pertahanan tubuh. Lini kedua berupa invasi netrofil ke daerah peradangan. Lini selanjutnya, masuknya monosit bersama invasi dari netrofil. Setelah berada di dalam jaringan monosit akan membesar menjadi makrofag dan memfagosit agen-agen infeksius. Lini pertahanan yang terakhir terjadi peningkatan hebat produk granulosit dan monosit oleh sumsum tulang.
(Guyton and Hall, 2007)

E.     LEUKEMIA
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang secraa maligna melakukan transformasi yang menyebabkan penekanan dan penggantian unsur sumsum yang normal (Price and Lorraine, 2007). Secara umum leukimia dibagi menjadi dua tipe, yaitu limfositik dan mielositik (Guyton and Hall, 2007). Keduanya ada yang akut dan kronik. Leukemia mielositik akut maupun kronik sering ditemukan pada orang dewasa semua umur dan akan meningkat setelah berumur 40 tahun. Untuk leukemia limfositik akut lebih sering pada anak-anak di bawah umur 15 tahun. Sedangkan leukemia limfositik kronik pada orang dewasa < 40 tahun (Price and Lorraine, 2007).
1.      Leukemia Akut
a.       Leukimia Mielositik Akut (LMA)
Disebut juga Leukemia Granulositik Akut (LMA) atau Leukimia Non Limfositik Akut (LNLA) (Price and Lorraine, 2007). Faktor yang menyebabkan predisposisi LMA diantaranya benzene, paparan ion radiasi, trisomi 21, dan kemoterapi. Patogenesisnya adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel seri mieloid terhenti pada sel muda menyebabkan akumulasi sel blast di sumsum tulang sehingga terjadi gangguan hematopoiesis dan terjadilah sindrom kegagalan sumsum tulang (Kurnianda, 2007).
Manifestasinya berupa berkurangnya sel hematopoietik normal, terutama granulosit dan trombosit. Pasien sering mengalami enfeksi atau perdarahan atau keduanya saat didiagnosis. Menggigil, demam, takikardia, dan takipnea sering merupakan gejala yang muncul. Trombositopenia menyebabkan timbulnya perdarahan di kulit, membran mukosa, saluran cerna, dan saluran kemih (Price and Lorraine, 2007). Pasien juga didapatkan leukosit yang tinggi (Kurniando, 2007).
 b.      Leukemia Limfositik Akut (LLA)
Faktor yang menyebabkan hampir sama dengan LMA. Patogenesis yang sering terjadi adalah kelainan sitogenetika. Hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor yang mempunyai peranan penting dalam mengontrol progresi siklus sel. Gejala dan tanda yang muncul diantaranya adalah anemia, anoreksia, nyeri tulang dan sendi, demam dan banyak keringat, infeksi, perdarahan (kulit, gusi, otak, saluran cerna), hepatomegali, splenomegali, limfadenopati, massa di mediastinum (Fianza, 2007). Dalam pemeriksaan biasanya didapatkan sel darah putih umumnya meningkat, tetapi bisa juga normal atau rendah, limfositosis, jumlah trombosit, netrofil, dan sel darah merah rendah. Sumsum tulang biasanya hiperseluler disertai adanya infiltrasi limfoblas. Tetpai perlu juga dilakukan tes sitogenetik dan imunotyping (Fianza, 2007).

2.      Leukemia Kronik
a.       Leukemia Mielositik Kronik (LMK)
Leukemia ini disebabkan oleh kelainan kromososm Philadelphia, yaitu translokasi resiprok antara lengan panjang kromosom 9 dan 22 (Fadjari, 2007). kelainan kromosom ini mempengaruhi sel induk hematopoietik dan karenanya terdapat pada garis sel mieloid, serta beberapa garis limfoid. Tanda yang muncul berupa leukositosis hebat tanpa gejala infeksi, splenomegaly, cepat lelah, lemah badan, demam yang tak terlalu tinggi, keringat malam, tidak ditemukan anemia (tapi ditemukan pada beberapa kasus). Leukosit dan trombosit naik sedangkan Hb normal atau rendah (Price and Lorraine, 2007).

b.      Leukemia Limfositik Kronik (LLK)
Penyebab dari leukemia ini adalah abnormalitas kromosom, onkogen, dan retrovirus. Kebanyakan LLK tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Pada pasien dengan gejala, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata, peurunan berat badan, dan kelelahan. Gejala lain meliputi nafsu makan dan penurunan kemampuan olahraga, demam, keringat malam. Pada akhhirnya akan mengalami limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali (Rotty, 2007). Pneumonia, ikterus obstruktif, disfagia, edema ekstrimitas bawah (Price and Lorraine, 2007). Pada hasil lab didapatkan peningkatan absolut limfosit.


BAB III
PEMBAHASAN

Dalam skenario disebutkan beberapa keluhan, seperti lemas, pucat, mudah capai, dan kadang panas. Tanda-tanda yang saling berkaitan tersebut merupakan tanda dari anemia, dimana Hb dan eritrosit turun. Hal tersebut ditunjang dengan konjungtiva pasien yang anemis, yang dimaksud di sini konjungtiva pucat. Lalu Hb yang didapatkan rendah, yaitu 7,5 g/dL. Padahal untuk wanita dewasa normalnya adalah 12 – 16 g/dL (Nelson et. Al., 2000). Kondisi anemis tersebut bisa menjadi salah satu kemungkinan terjadinya atrofi papil lidah. Karena kekurangan eritrosit dan Hb, maka oksigen yang diikat tidak bisa segera disampaikan ke jaringan yang membutuhkan, apalagi papil lidah merupakan saluran kecil yang buntu, akhirnya terjadilah atrofi. Anemia tersebut juga bisa berhubungan dengan frekuensi nadi yang agak tinggi yang didapatkan dari pemeriksaan fisik. Darah yang sedikit tersebut agar mampu menyalurkan oksigen kepada jaringan yang membutuhkan, memerlukan aliran yang cepat, dengan begitu, jantung akan memompa lebih cepat pula, manifestasinya adalah kenaikan frekuensi nadi tersebut. Pengecekkan adanya ikterus juga perlu dilakukan sebagai acuan apakah terjadi perombakan sel darah merah yang berlebihan sehingga menyebabkan reduksi protoporfirin menjadi biliverdin kemudian menjadi bilirubin, terutama bilirubin indirek yang berlebihan. Jika terjadi ikterus kemungkinan pasien menderita anemia hemolitik (Price and Lorraine, 2007).
Perdarahan lewat hidung ini memang sangat mudah terjadi mengingat pembuluh darah di hidung sangat tipis. Pembuluh ini memiliki fungsi sebagai penghangat udara yang masuk sehingga panas cepat dikeluarkan ke permukaan. Oleh karena tipisnya, pembuluh tersebut akan lebih mudah terjadi luka baik karena trauma atau spontan (Wiernik, 1985). Pendarahan pada bagian ini biasanya sangat banyak dan terjadi diantaranya karena viskositas darah yang tinggi sehingga terjadi perbedaan tekanan atau karena curah jantung yang besar dan keadaan pembuluh darah yang setiap hari menipis. Keadaan-keadaan yang menjadi penyebab pendarahan pada hidung sebetulnya dapat diatasi segera dengan proses hemostasis sehingga pendarahan tidak berlangsung lama. Retakan-retakan dan penipisan pada orang normal jarang terakumulasikan karena kerusakan sedikit akan menyebabkan proses hemostasis berlangsung. Namun pada orang-orang dengan kelainan hemostasis seperti trombositopenia akan mengalami pendarahan yang hebat dan berlangsung lama (Wiernik, 1985).
Gejala lain yang timbul seperti demam (Suhu di atas normal, yaitu 36 – 37oC). Hal ini bisa berkaitan dengan sistem imun tubuh. Agen-agen infeksius ketika menginfeksi akan mengeluarkan suatu zat yang merangsang peningkatan suhu pada penderita untuk memacu keluarnya antibodi dan sel-sel fagosit. Demam tersebut bisa disebabkan oleh bekerjanya sistem imun terhadap agen-agen infeksius tersebut. Pemeriksaan pembengkakan gusi adalah sebagai penanda apakah terjadi infiltrasi sel-sel leukemik (Mehta and Hoffbrand, 2008). Pembengkakan gusi tersebut manifestasi dari efek peradangan dari agen infeksiosa atau bisa karena trauma. Mengingat gusi merupakan mukosa yang tipis dan terdapat pembuluh darah, sangat rentan terhadap trauma sperti gesekan dari luar, tekanan gigi, ataupun kontak dengan makanan. Pembengkakan gusi merupakan ciri khas dari kelainan leukemia myelositik, sehingga inviltrasi yang terjadi adalah inviltrasi dari sel-sel granulositik yang abnormal (Price and Lorraine, 2007).
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pasien terlihat kurang gizi. Hal ini bisa disebabkan oleh hasil metabolisme digunakan oleh sel tumor untuk berkembang, sehingga sel tubuh yang normal akan kekurangan asupan gizi (Guyton and Hall, 2007). Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening (Dorland, 2006). Limfadenopati yang ditemukan merupakan penyebab dari banyaknya jumlah sel-sel leukosit baik normal maupun abnormal yang terkumpul disana mengingat limfa merupakan slaha satu organ penghasil leukosit. Kejadian ini dapat merupakan respon fisiologis tubuh dalam sistem imunitas sebagai manifestasi dari adanya invasi antigen-antigen dan bakteri yang masuk ke dalam tubuh sehingga produksi sel-sel leukosit yang meningkat menyebabkan inviltrasi sel-sel leukosit ke dalam kelenjar getah bening. Secara patologis juga merupakan ciri dari adanya leukemia karena adanya sel-sel leukemik abnormal yang melakukan inviltrasi (Wiernik, 1985). Hyperplasia juga bisa menyebabkan terjadinya pembesaran tersebut (Ganong, 2008). Hepatomegaly juga hampir sama dengan limfadenopati. Sel-sel leukosit yang abnormal akan menyebabkan terjadi banyak perombakan sel-sel leukosit abnormal oleh sel-sel kupfer di sinusoid-sinusoid hepar sehingga jika jumlahnya banyak akan menyebabkan pembesaran karena hepar penuh dengan leukosit atipikal dan abnormal baik yang telah dirombak maupun yang belum (Guyton and Hall, 2007). Sedangkan splenomegali biasanya  merupakan manifestasi dari infiltrasi sel-sel leukosit yang abnormal dan hemopoesis extramedullar (Guyton, 1996).
Setelah melihat hasil test lab yang dialakukan bisa lebih menghubung-hubungkan gejala yang terjadi dengan suatu penyakit. Jumlah leukosit naik (normal: 4.500 – 11.000 /mm3) tetapi trombosit turun (normal: 150.000 – 450.000/mm3). Menunujukkan bahwa leukosit tersebut adalah leukosit yang abnormal, sehingga dapat menekan proses pembentukan sel darah yang lain. Kenaikkan jumlah sel-sel ini pada sumsum tulang menyebabkan penekanan pada sel-sel bakal terkait tugas dan sel-sel pembentuk sel darah lain (Widmann, 1995). Oleh karena itu pasien dapat dicurigai terkena leukemia. Lalu dilihat dari awitanntya, pasien menrasakan hal tersebut sejak 6 bulan. Hal ini menunjukkan masih dalam waktu yang singkat. Dari sini bisa diduga bahwa pasien tersebut terkena leukemia akut.
Dokter menganjurkan pasien dirujuk ke Rumah Sakit mengacu pada kewenangan tingkatan strata yang sudah diatur. Strata yang ada kewenangan untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan seperti aspirasi atau biopsy sumsum tulang merupakan kewenangan rumah sakit. Selain itu, Rumah Sakit juga memilki fasilitas yang lebih lengkap untuk dilakukan pemeriksaan sitogenetik dan immunotyping, sehingga dapat ditegakkan diagnosis pasti terhadap penyakit tersebut dan diberikan penanganan yang tepat.


BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A.    SIMPULAN
1.      Penyakit yang diderita paien adalah leukemia akut.
2.      Anemia yang diperoleh sebagai manifestai dari leukemia.
3.      Sel leukosit yang abnormal dapat terjadi karena sel tumor.
4.      Pemeriksaan penunjang belum bisa dilaksanakan oleh strata pertama seperti dokter umum, yang hanya dapat diberikan oleh dokter umum adalah pengobatan simptomatis dan pencegahan adanya pendarahan.

B.     SARAN
1.      Untuk melakukan diagnosis pasti dari suatu penyakit diperlukan pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk penyakit tersebut.
2.      Merujuk pasien ke strata yang lebih berwenang untuk dilakukan suatu tindakan terhadap pasien.
 
DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland-Edisi 29. Jakarta: EGC.
 Fadjari, Heri. 2007. Leukimia Granulositik Kronis. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Fianza, Panji Irani. 2007. Leukimia Limfoblastik Akut. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Ganong, William F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
 Guyton, A.C., John E. Hall, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
 Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Mehta, Atul; Hoffbrand, Victor. 2008. At a Glance Hematologi. Jakarta. Penerbit Erlangga.
 Nelson, Waldo et. Al. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC.
 Price, Sylvia A and Lorraine M Wilson. 2005. Patofisologi Volume 2. Jakarta: EGC.
 Rotty, Linda W. A. 2007. Leukimia Granulositik Kronis. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Widmann, Frances. K. 1995. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
 Wiernik, Peter H. 1985. Leukemias and Lymphomas (Contemporary Issues in Clinical Oncology Vol 4). Churchill Livingstone.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar