Cari Blog Ini

Laman

Rabu, 25 Mei 2011

Poliuria

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Diabetes Melitus merupakan penyakit yang paling sering dijumpai di Indonesia. Diabetes Melitus atau yang sering disebut dengan kencing manis memerlukan perawatan yang intensif. Jika keterlambatan atau kesalahan penanganan, bisa terjadi berbagai komplikasi dari penyakit ini yang bisa menimbulkan kematian. Sudah banyak angka kematian akibat penyakit ini. Diabetes Melitus memang bukan penyakit yang bisa disembuhkan secara total, tetapi hanya bisa dikontrol agar tidak menimbulkan komplikasi baik akut maupun kronik.
Sebenarnya penyakit diabetes tidak hanya diabetes melitus saja, tetapi ada diabetes insipidus. Namun diabetes insipidus memang jarang ditemukan sekali di Indonesia. Ciri-ciri keduanya hamper sama, tetapi perawatan antara keduanya berebeda. Untuk itu seorang dokter harus bisa mendiagnosa secara tepat agar penatalaksanaannya juga sesuai.

Skenario
          Seorang penderita wanita usia 45 tahun berat badan 45 kg, tinggi badan156 cm, datang ke poliklinik penyakit dalam sub Bagian Endokrinologi dan Metabolik Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta dengan keluhan sering kencing atau poliuria, kedua kaki terasa kesemutan (polineuropati) dan mata kabur. Riwayat penyakit sekarang: Sejak 2 tahun yang lalu penderita merasakan sering kencing, banyak makan tapi berat badan semakin kurus dan pernah berobat ke dokter katanya menderita diabetes insipidus. Anak laki-lakinya yang berusia 11 tahun menderita penyakit diabetes melitus dan sekarang memakai insulin. Pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Hasil CT Scan abdomen kesimpulan: kalsifikasi pada kelenjar pankreas. Laboratorium datah: gula puasa 256 mg/dl, kolesterol total 250 mg/dl. Urin rutin: protein positif (+++), reduksi (+++).
Oleh dokter poliklinik penderita diberi obat antidiabetik oral, selanjutnya dirujuk ke poliklinik gizi dengan diet DM 1700 kalori, poliklinik mata dan poliklinik neurologi. Selain itu penderita dianjurkan untuk latihan jasmani setiap hari dan kontrol rutin setiap bulan karena penyakit ini sebagian besar harus menjalani pengobatan selama hidup.

Hipotesis
Wanita tersebut menderita penyakit Diabetes melitus Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus)

A.    TUJUAN
1.      Mengetahui gejala, etiologi, patogenesis, diagnosis, komplikasi, dan penatalaksanaan penyakit pada kasus ini.
2.      Mengetahui regulasi dan mekanisme hormon yang mempengaruhi beserta organ penghasilnya.

B.     MANFAAT
1.      Mahasiswa dapat menganalisis penyakit yang berkaitan dengan system endokrin.
2.     Mahasiswa dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat dari penyakit yang didiagnosis.


BAB II
STUDI PUSTAKA

A.    ADH (Antidiuretik Hormon)
ADH atau hormon vasopressin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis posterior dan paling banyak terletak di nukleus supraoptik. Hormon ini berfungsi dalam pengaturan volume urin dengan mekanisme : ADH bergabung dengan receptor membran yang mengaktifkan adenil siklase dan menyebabkan pembentukan cAMP di dalam sitoplasma sel tubulus. Lalu cAMP menyebabkan fosforilasi eleven di dalam vesikel khusus. Vesikel tersebut masuk ke dalam membran sel apikal sehingga menyebabkan banyak daerah yang bersifat permeabel terhadap air. Dengan begitu, ketika daerah tersebut dilalui oleh air, air akan terreabsorbsi untuk mencukupi kebutuhan sel tubuh terhadap air.
Sekresi ADH disinyali oleh osmoreseptor, reseptor neuron di dekat hipotalamus. Bila cairan ekstrasel terlalu pekat, cairan akan ditarik secara osmosis keluar dari sel osmoreseptor, sehingga ukurannya berkurang dan menimbulkan sinyal saraf di hipotalamus agar menghasilkan sekresi ADH tambahan.Dan sebaliknya
(Guyton and Hall, 2007)

B.     INSULIN
Insulin adalah hormone protein yang disekresi oleh sel beta pulau langerhans berfungsi sebagai isyarat hormonal pada keadaan makan yang disekresikan sebagai respon terhadap peningkatan glukosa dan asam amino dalam darah (Dorland, 2006). Insulin memiliki berat molekul 5808 dan terdiri atas 2 rantai asam amino yang duhubungkan oleh jembata disulfida. Sintesa insulin dimulai dari translasi RNA insulin oleh ribosom yang menempel pada retikulum endoplasma sehingga membentuk praprohormon insulin dan dipecah menjadi prohormon. Kemudian prohormon insulin dipecah menjadi insulin dan fragmen peptida di badan golgi.
Reseptor hormone insulin memiliki berat molekul sekitar 300.000. reseptor tersebut memiliki 4 sub unit (kombinasi 2 sub unit α yang terdapat di luar sel dan 2 sub unit β yang sebagian menonjol menembus membrane sel ke sitoplasma) yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Insulin ini menempel pada sub unit α reseptor sehingga sub unit β mengalami autofosforilasi akibatnya tirosin kinase aktif. Lalu terjadi fosforilase pada enzim setempat dan enzim tersebut diekspresikan ke berbagai jaringan. Oleh karena itu hormone insulin dapat menurunkan kadar gula darah. Dengan menyebarkan enzim tersebut ke berbagai sel, dapat meningkatkan ambilan glukosa ke sel-sel tubuh. Hal ini menyebabkan pemakaian lemak dan protein dalam tubuh bisa dihemat.
Di dalam sel β pulau Langerhans kelenjar pancreas, terdapat sejumlah ambilan glukosa (GLUT-2) sehingga memungkinkan pengambilan glukosa. Setelah glukosa berada di dalam sel, glukosa terfosforilasi membentuk glukosa-6-fosfat lagu dioksidasi menjadi ATP. Hal ini menyebabkan kanal kalium yang peka terhadap ATP tertutup dan kanal kalsium terbuka sehingga Kalsium masuk sehingga merangsang vesikel yang berisi insulin menempel pada membrane sel lalu terjadilah sekresi insulin ke cairan ekstrasel secara eksositosis.

C.    DIABETES INSIPIDUS
Diabetes Insipidus adalah beberapa jenis poliuria yang volume urinnya melebihi 3 L per hari, menyebabkan dehidrasi dan rasa haus yang hebat (Dorland, 2006). Penyakit ini diakibatkan oleh berbagai penyebab yang mengganggu neurohypophyseal renal reflex sehingga berakibat kegagalan tubuh dalam mengkonversi air. Gejala utama yang tibul antara lain poliuria, yaitu pasase volume urin yang besar dalam periode tertentu yang merupakan ciri diabetes (Dorland, 2006), dan polidipsia, jumlah urin per hari antara 5 – 10 L yang berat jenis urinnya 50 – 200 mOsmol/ kg BB (Imam Subekti dan Asman, 2007).
Ada 2 jenis diabetes insipidus, yaitu Diabetes Insipidus Sentral dan Diabetes Insipidus Nefrogenik. Diabetes Insipidus Sentral bisa disebabkan karena kerusakan nukleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang menyintesis ADH. Kegagalan penyimpanan atau penglepasan ADH juga bisa mnejadi penyebabnya. Lalu tidak adanya sintesis ADH, ada sintesis ADH tetapi jumlahnya kurang atau jumlahnya cukup tetapai tidak berfungsi. Sedangkan Diabetes Insipidus Nefrogenik disebabkan oleh kegagalan pembentukkan dan pemeliharaan gradient osmotik dalam medula renalis dan kegagalan utilitasi gradient pada keadaan dimana ADH berada dalam jumlah yang cukup dan berfungsi normal (Imam Subekti dan Asman, 2007). Namun, dalam www.emedicine.com (2008) menyebutkan pembagian Diabetes Insipidus menjadi 4, yaitu Sentral, Nefrogenik, Dipsogenik, dan Gestasional.

D.    DIABETES MELITUS
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau ke dua-duanya (Reno Gustaviani, 2007). Ada 2 jenis Diabetes Melitus, yait DM Tipe I (Insulin Dependent Diabetes Melitus) dan DM Tipe II (Non Insulin Diabetes Melitus).
Diabetes Melitus Tipe I ini disebabkan oleh kerusakan pancreas akibat infeksi virus atau herediter. Biasanya dimulai pada usia 14 tahun. Tanda-tanda utamanya meliputi naiknya kadar glukosa, peningkatan penggunaan lemak sebagai sumber energi dan untuk pembentukkan kolesterol, dan berkurangnya protein dalam jaringan tubuh. Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian insulin (Reno Gustaviani, 2007).
Diabetes Melitus Tipe II atau NIDDM disebabkan karena resistensi insulin. Tanda dari resistensi insulin adalah obesitas. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati (Arif Mansjoer dkk, 2005). Hal tersebut disebabkan oleh jumlah reseptor insulin di otot rangka, hati, dan jaringan adipose pada orang obese lebih sedikit, gangguan sinyal insulin karena efek toksik di akumulasi lipid, genetic yang dapat mempengaruhi sinyal insulin dan ketahanan pancreas dalam menghasilkan insulin, syndrome ovarium pollikistik, dan syndrome chusing serta akromegali (Reno Gustaviani, 2007).

BAB III
PEMBAHASAN

Dari skenario tersebut disebutkan bahwa wanita tersebut memiliki berat 45 kg dan berat badan 156 cm. Untuk tahap awal dapat dihitung BMI dari angka-angka tersebut. Hasil Bmi menyatakan bahwa wanita tersebut normal. Lalu dari tanda-tanda yang di dapat ada poliuria yang merupakan ciri dari diabetes (baik insipidus maupun melitus). Poliuria bisa disebabkan karena kekrungan ADH sebagai pengontrol volume urin. Jika ADH berkurang, maka permeabelitas tubulus dan duktus koligentus akan berkurang juga sehingga mengganggu reabsorbsi air dan akhirnya air ikut keluar bersama urin. Selain itu, bisa diakibatkan karena kekurangan insulin atau reseistensi insulin. Dengan kurangnya insulin yang bekerja atau sensitivitas insulin rendah, mengakibatkan kadar glukosa dalam darah tidak bisa diturunkan. Hal ini mengakibatkan naiknya tekanan osmotik sehingga air secara osmotik tertarik ke luar dari sel dan ikut keluar bersama urin. Poliuria bisa menyebabkan dehidrasi, karena air yang seharusnya diperlukan tubuh ikut keluar. Hal ini menimbulkan tanda polidipsia pada penderita diabetes.
Wanita tersebut juga memiliki gejala polifagia (banyak makan) tapi badan tetap kurus. Ini adalah tanda dari diabetes melitus. Hal ini terjadi karena ambialan glukosa oleh jaringan-jaringan tubuh berkurang karena kurang insulin atau sensitivitas urin rendah sehingga jaringan tersebut memakai lemak dan protein sebagai sumber tenaga. Dengan begitu tubuh menjadi semakin kurus. Hal ini belum bisa menentukan DM tipe I atau II. Walaupun tipe II seharusnya obesitas, tapi menimbulkan penurunan berat badan yang drastis hingga menjadi kurus. Dari garis keturunan ternyata anakanya juga menderita DM. Bisa disimpulkan bahwa wanita tersebut punya resiko besar mengidap DM juga. Didukung dengan hasil pemeriksaan lab dengan glukosa yang di atas normal (normal: 70 – 110 mg/dl), kolesterol di atas normal (normal: 150 mg/dl), creattin yang berlebih, protein (+++) yang menjelaskan bahwa terdapat protein dalm urin dengan kadar yang tinggi (>0,5%), dan reduksi (+++) menunjukkan adanya glukosa dalam urin dengan kadar (>3,5%). Glukosuria ini bisa karena kadar glukosa dalam darah yang dibawa ke ginjal melebihi batas ambang ginjal (170 – 180 mg/dl).
Tanda-tanda lain yang dirasakan adalah polineuropati, yaitu gangguan fungsional atau perubahan patologis pada beberapa sistem saraf tepi secara serentak (Dorland, 2006), dan mata kabur. Kedua hal tersebyt disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah karena tingginya kadar glukosa dalam darah, sehingga aliran darah tidak bisa mengalir. Dari hasil CT Scan abdomen menunjukkan kalsifikasi. Hal ini bisa menyimpulkan bahwa wanita tersebut menderita DM Tipe II (NIDDM). DM tipe ini, insulin yang dihasilkan tidak sedikit, justru sangat banyak, untuk mencapai kerja yang diharapkan. Untuk mensekresi insulin, dibutuhkan kalsium sebagai perangsang penempelan vesikel yang berisis insulin dengan membran sel, yang nantinya akan menyekresi insulin ke cairan ekstraseluler secara eksositosis. Jadi semakin banyak insulin yang dihasilkan, semakin banyak pula kalsium yang dibutuhkan. Kalsifikasi sendiri berarti proses mengerasnya jaringan organik akibat pengendapan garam-garam kalsium. Dengan begitu, jelas bahwa kalsifikasi terjadi karena banyaknya insulin yang dihasilkan pankreas. Hal ini merupakan ciri dari DM Tipe II.
Setelah didapatkan diagnosis pasti, maka segera dilakuakan penatalkasanaan diabetes melitus. Hal ini dikarenakan kemungkinan timbulnya komplikasi DM baik akut (koma hipoglikemia, ketoasidosis, koma hiperosmolar nonketotik) maupun kronik (makroangiopati, mikroangiopati, neuropati diabetik, rentan infeksi, kaki diabetik) (Arif Mansjoer dkk, 2005). Untuk meningkatkan berat badan pasien, bisa digunakan diet DM dengan mengonsumsi 40 kalori/kg BB. Obat antidiabetik diberikan untuk meningkatkan sensitivitas insulin dan pelepasan insulin. Pemberian insulin juga tetap harus diberikan untuk mengonterol kadar glukosa darah. Selain itu latihan jasmani juga diperlukan, tapi harus teratur dan terukur. Diabetes melitus memerlukan kontrol rutin karena penyakit ini memang tidak bisa sembuh total, tetapi ada suatu penelitian baru  pengobatan DM dengan memperbaiki pankreas menggunakan stem cell.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A.    SIMPULAN
1.      Diabetes Melitus bukan penyakit yang bisa disembuhkan secara total, tetapi hanya bisa dikontrol secara rutin.
2.      Faktor genetik merupakan faktor utama timbulnya diabetes melitus.
3.      Dabetes melitus dan insipidus memiliki gejala yang hampir sama, tetapi menimbulkan pengaruh yang berbeda.
4.      Keterlambatan penanganan DM mengakibatkan komplikasi akut maupun kronik.
5.      Penatalaksanaan diabetes melitus disesuaikan dengan kebutuhan pasien.

B.     SARAN
1.      Jika memiliki genetik DM, kontrol baik-baik asupan tipa hari.
2.      Biasakan olahraga secara teratur dan terukur.
3.      Segera ditindaklanjuti apabila timbul gejala-gejala DM.

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland-Edisi 29. Jakarta: EGC.
 Gustaviani, Reno. 2007. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: EGC.
 Guyton, A.C., John E. Hall, 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
 Mansjoer Arif dkk. 2005. kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid I. Jakarta: Mdia Aesculapius.
 Subekti, Imam dan Asman Boedi Santoso. 2007. Diabetes Insipidus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar