BAB III
PEMBAHASAN
Seorang pasien laki-laki berumur 40 tahun datang dengan keluhan utama terdapat benjolan di leher kanan keras yang tidak nyeri tekan. Benjolan muncul sejak 3 bulan yang lalu sebesar kacang lalu semakin membesar dan sekarang sudah sebesar telur itik Ada beberapa penyakit yang bisa dicurigai dalam menimbulkan benjolan pada leher, yaitu struma, higroma colli, neoplasma jaringan lunak, limfadenitis, parotitis, dan neoplasma jaringan limfoid. Namun, untuk mempermudah dalam diagnosis, perlu dikerucutkan atau diarahkan pada satu penyakit. Pada struma, benjolan terjadi ditengah leher tepat karena yang mengalami pembesaran adalah kelenjar thyroid. Untuk parotits, benjolan terjadi dari depan telinga hingga bawah telinga. Sedangkan pada pasien tersebut benjolan terdapat pada leher kanan. Lalu benjolan pada higroma colli sudah terjadi pada saat lahir, sedangkan pasien baru merasakan saat umur 40 tahun. Neoplasma jaringan lunak merupakan neoplasma pada jaringan lemak, fibrosa, otot, dan lainnya dimana konsistensi benjolannya lunak atau kenyal (Chandrasoma dan Taylor, 2005). Padahal benjolan pada pasien tersebut keras. Jika limfadenitis, pasti ditemukan tanda-tanda peradangan seperti demam dan nyeri tekan, sedangkan pasien tidak memilki gejala tersebut. Kemungkinan terbesarnya adalah neoplasma jaringan limfoid. Neoplasma ini bisa primer atau sekunder (hasil metastase). Pada neoplasma jaringan limfoid primer, biasanya berkaitan dengan sumsum tulang belakang, seperti leukimia. Dengan begitu ruang pemikiran menjadi lebih sempit, yaitu pada neoplasma jaringan limfoid sekunder. Dari namnya, berarti neoplasma ini terdapat di kelenjar limfoid yang merupakan hasil metastase dari tumor primer. Untuk menganalisis letak tumor primer dan jenis tumornya, bisa dilihat dari keluhan keluhan dan pemeriksaan selanjutnya.
Benjolan pada pasien muncul sejak 3 bulan yang lalu sebesar kacang lalu semakin membesar dan sekarang sudah sebesar telur itik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan tumor sangat cepat. Pertumbuhan yang cepat menandakan bahwa tumor tersebut ganas. Hal lain yang menandakan adanya keganasan adalah adanya metastase, yang pada kasus ini metastase ke kelnjar limfoid. Anamnesis selanjutnya didapatkan keluhan pasien seperti sering keluar darah dari lubang hidung, hidung tersumbat, telinga kanan terasa penuh, pandangan kabur, dan kepala pusing. Keluhan-keluhan tersebut merupakan keluhan khas yang terjadi pada karsinoma nasofaring, mengingat letak nasofaring yang memang berabatasan dengan hidung, telinga, dan kranial. Keluarnya darah dari hidung bukan disebabkan oleh pecahnya plexus kiesselbach (pada karsinoma nasofaring), tetapi karena dinding tumor yang rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat menyebabkan perdarahan. Keluhan hidung tersumbat disebabkan oleh pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala ini menyerupai pilek kronis, hidung tersumbat, dan ingus kental. Namun, gejala tersebut bukan gejala yang khas karena bisa juga karena infeksi biasa, bukan tumor. Pertumbuhan tumor ke arah lateral yang dapat mendesak tuba eustachius dan mengganggu pergerakan otot levator palatini, yang berfungsi membuka tuba sehingga fungsi tuba terganggu. Pertumbuhan lebih lanjut dapat menyumbat muara tuba. Padahal fungsi tuba eustachius adalah menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Jika tuba tersumbat, telinga tengah akan menghasilkan cairan yang semakin lama semakin menumpuk sehingga terasa telinga seperti penuh. Hal tersebut menyebabkan kebocoran telinga hingga gangguan pendengaran. Pandangan kabur disebabkan pertumbuhan tumor ke arah kranial sehingga dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan kelumpuhan otak syaraf, yaitu syaraf otak VI. Gejala tersebut berupa penglihatan dobel (diploppia). Selain mengenai syaraf otak, bisa menekan selaput otak sehingga kepala terasa sakit atau pusing Rasad, 1996; Soepardi, 2000)
Dari pemeriksaan fisik yang telah dilakukan diperoleh tekanan darah 130/80 mmHg dimana tekanan tersebut masih dalam batas normal. Kelainan sistemik juga tidak ditemukan yang menunjukkan bahwa tumor tersebut belum bermetastase sampai organ-organ vital. Palpasi pada benjolan didapatkan, benjolan yang keras, karena tumor mengandung jaringan fibrosa yang terus berproliferasi; sukar digerakkan, disebabkan tumor terus berkembang menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya sehingga kelenjar menjadi lekat dengan otot; dan tidak nyeri tekan, menunjukkan bahwa benjolan tersebut bukan merupakan suatu peradangan.
Dalam menegakkan diagnosa pasti terhadap suatu penyakit diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang. Dokter Puskesamas dalam skenario merujuk pasien ke rumah sakit khususnya kepada bagian THT karena dokter umum memang memilki wewenang untuk merujuk pasien kepada dokter yang lebih ahli (dokter spesialis) mengingat peralatan di rumah sakit juga lebih lengkap untuk melkakukan pemeriksaan penunjang. Dokter THT di Rumah sakit melakukan biopsi karena biopsi memang sebagai gold standar dalam diagnosa penyakit neoplasma (Sukardja, 2000). Biopsi dilakukan pada benjolan di leher dan nasofaring untuk mengetahui apakah benar ada karsinoma pada nasofaring, seperti yang telah dicurigai sebelumnya, dan untuk mengetahui tingkat keganasan tumor tersebut. Sebenarnya dalam diagnosa karsinoma nasofaring tidak hanya melalui biopsi, tetapi juga bisa melalui CT scan, tes serologi untuk IgA anti EA dan IGA anti VCA untuk virus Epstein Barr, mediastinokopi, MRI, dan sebagainya. Namun, seperti yang sudah diuraikan tadi dari pemeriksaan-pemeriksaan tersebut memang bipsi sebagai pemeriksaan histopatologi yang merupakan gold standarnya. Tapi bukan berarti pemeriksaan-pemeriksaan lainnya tersebut tidak berguna, mereka bisa digunakan seperti untuk menentukan stadium dari karsinoma serviks. Setelah dilakukan biopsi memang ternyata benar, benjolan pada leher tersebut memang bukan karena pembesaran kelenjar limfoid, melainkan adanya tumor yang anaplastik sebagai tanda bahwa tumor tersebut ganas. Begitu juga hasil pemeriksaan histopatologi pada nasofaring yang menunjukkan adanya gambaran anaplastik yang menandakan tumor tersebut ganas. Dari pemeriksaan tersebut bisa diagnosa pasti penderita tersebut terkena karsinoma nasofaring yang bermetastase ke kelnjar limfoid di leher.
Penatalaksanaan pertama yang dapat dilakukan pada pasien tersebut memang operasi untuk pengangkatan benjolan di leher. Karena tumor tersebut adalah tumor ganas, ditakutkan ada sisa-sisa dari kanker yang belum terangkat sehingga bisa menyebabkan kekambuhan. Untuk itu perlu diberikan terapi terapi seperti radiasi, kemoterapi, kemoradioterapi, imunoterapi. Tidak disarankan tindakan operasi untuk lesi yang tersisa. Untuk karsinoma nasofaring stadium lanjut dapat dilakukan terapi fotodinamik dan implantasi biji iodium-125 (AsroeL,..).
Sebenarnya setiap penyakit dapat dilakukan pencegahan. Untuk melakukan tindakan preventif itu perlu diketahu etiologi dari karsinoma nasofaring sendiri. Insidensi karsinoma nasofaring banyak terjadi pada laki-laki. Kemungkinan hal ini berkaitan dengan kebiasaan merokok yang dilakukan oleh laki-laki dimana dalam rokok terdapat banyak zat karsinogen. Karsinoma nasofaring juga biasanya terjadi pada orang dewasa, tapi bukan berarti hanya pada orang dewasa, pada anak-anak juga bisa terjadi. Hal tersebut disebabkan oleh akumulasi dari mediator-mediator pengaktif EBV sebagai salah satu penyebab kelainan di epitel nasofaring yang sudah dikonsumsi dari anak-anak dan baru timbul manifestasi pada usia dewasa. Mediator tersebut seperti nitrosamin yang banyak dikandung dalam ikan asin. Dari beberapa uraian tersebut dapat diambil tindakan-tindakan pencegahan terhadap karsinoma faring, yaitu jangan merokok, evakuasi penduduk daerah resiko tinggi (berkaitan karsinogen), ubah pola diet dan cara memasak, vaksinasi anti EBV, dan tes serologi untuk EBV.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
- Benjolan pada pasien merupakan tumor metastase dari tumor pada nasofaring.
- Insidensi karsinoma nasofaring dapat terjadi di segala usia, tapi kebanyakan pada usia dewasa (30 – 60 tahun) akibat akumulasi karsinogen dan lebih sering pada laki-laki yang berhubungan dengan aktivitas merokok.
- Pertumbuhan tumor yang cepat, bermetastase, dan memilki gambaran anaplastik merupakan tanda keganasan dari suatu tumor.
- Pemeriksaan histopatologis, yaitu biopsi, merupakan gold standar dalam menentukan diagnosa pasti neoplasma.
- Pada pasien belum bisa ditentukan stadium dari karsinoma nasofaring karena pemeriksaan yang dilakukan kurang lengkap.
- Tindakan operasi dilakukan untuk mengangkat benjolan dan bukan untuk menghilangkan sisa-sisa dari lesi, setelah itu dilakukan terapi-terapi agar tidak terjadi kekambuhan.
B. SARAN
- Menghindari makanan yang banyak mengandung karsinogen.
- Melakukan deteksi dini agar dapat mencegah dan bisa segera diatasi jika terdapat suatu kelainan.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Boies, dan Higler. 1997. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Ed: 6. Jakarta : EGC.
Arima, Cut Aria. 2006. Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma Nasofaring. http://library.usu.ac.id/download/fk/D0400193.pdf.
Asroel, Harry A. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. http://library.usu.ac.id/download/fk/…….pdf.
Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
(Buku Ajar Onkologi Klinik
Wang, Jialei dkk 2007 Retrospective Case Series Of Gemcitabine Plus Cisplastin In The Treatment Of Recurrent and Metastatic nasopharyngeal carcinoma http://intl.elsevierhealth.com/journals/oron/
Anonim, 2008. Epstein Barr Virus. http://en.wikipedia.org/wiki/Epstain-Barr-Virus
Soepardi EA, Iskandar N. 2000. Karsinoma Nasofaring. Buku Ajar THT. Edisi Kelima. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
Sukardja, I Dewa Gede. 2000. Onkologi Klinik. Surabaya: Airlangga University Press
Sukardja, I Dewa Gede. 2000. Onkologi Klinik. Surabaya: Airlangga University Press
Makasih banyak infonya GbU
BalasHapus