KESEMUTAN
Kesemutan merupakan istilah klinis untuk parestesia yang merupakan suatu kelainan somestesia. Ada 5 golongan dari patofisiologi somestesia, yaitu anestesia (hilang perasaan kalau dirangsang), hiperestesia (perasaan terasa berlebihan jika dirangsang, parestesia (perasaan yang timbul secara spontan, tanpa adanya perangsangan), nyeri, dan gerakan yang canggung serta simpang siur. Parestesia merupakan gangguan sensorik negatif yang disebut dengan defisit neurologik. Pada kasus CVD (cerebrovascular disease, bila terjadi sumbatan di arteri cerebri media yang memvaskularisasi daerah precentralis (pusat motorik) dan postcentralis (pusat sensorik) menyebabkan kedua daerah tersebut kekurangan aliran sehingga terjadi infark serta menyebabkan gangguan pada pusat motorik sensorik. Hal tersebut menyebabkan kelumpuhan dan defisit sensorik kontralateral (Mardjono dan Priguna, 2003).
BICARA PELO
Nervus hipoglosus berinti di nukleus hipoglosus yang terletak di samping bagian dorsal dari fasikulus longitudinalis medialis pada tingkat kaudal medula oblongata. Pada perjalanannya menuju lidah, nervus ini melewati arteria karotis interna dan eksterna. Otot-otot lidah yang menggerakan lidah terdiri dari muskulus stiloglosus, hipoglosus, genioglosus longitudinalis inferior dan genioglosus longitudinalis superior di persarafi oleh nervus hipoglosus. Lesi nervus hipoglosus sering terletak di perifer, maka atrofi otot cepat terjadi. Pada kelumpuhan paralisis nervus hipoglosus terdapat gejala-gejala berupa sukar menelan dan bicara pelo. Namun bicara pelo juga dapat terjadi walaupun lidah tidak lumpuh tetapi keleluasaannya terbatas karena frenula lingua mengikat lidah sampai ujungnya (Mardjono dan Priguna, 2003)..
Pelo dapat diartikan sebagai cara berbicara dengan lidah yang lumpuh. Untuk dapat mengucapkan kata-kata sebaik-baiknya, sehingga bahasa yang disengar dapat ditangkap dengan jelas dan setiap suku kata dapat terdengar secara terinci, maka muluit, lidah, vivir, palatum mole dan pita suara serta otot-otot pernafasan harus melakukan gerakan tangkas sesempurna-sempurnanya. Bila ada salah satu gerakan tersebut yang terganggu, maka timbullah cara berbahasa (verbal) yang kurang jelas. Kelainan tersebut bisa disebut sebagai gangguan artikulasi atau disartria (Mardjono dan Priguna, 2003)..
Pada disartria hanya pengucapannya saja yang terganggu tetapi tata bahasanya baik. Disartria emeiliki beberapa penyebab. Disartria UMN yang berat timbal akibat lesi UMN bilateral, seperti pada paralisis pseudobulbaris. Di situ lidah sukar dikeluarkan dan umumnya kaku untuk digerakkan ke seluruh jurusan. Lesi UMN lain yang bisa menimbulkan disartria terletak di jaras-jaras yang menghantarkan impuls koordinatif yang bersumber pada serebelum, atau yang menyalurkan impuls ganglio basalis. Pada disartria serebelar, kerjasama otot lidah, vivir, pita suara dan otot-otot yang membuka dan menutup mulut bersimpang siur, sehingga kelancaran dan kontinuitas kalimat yang diucapkan Sangay terganggu. Sedangkan pada disartria LMN akan terdengar berbagai macam disartria tergantung pada kelompok otot yang terganggu (Mardjono dan Priguna, 2003).
PATOFISIOLOGI NERVUS FACIALIS
Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus facialis bisa mendapat gangguan din lintasan supranuklear, nuclear, dan intranukelar. Pada kerusakan karena sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian bawah korteks motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral akan memperlihatkan kelumpuhan jenis UMN. Ini berarti bahwa otot wajah bagian bawah tampak lebih jelas lumpuh daripada bagian atasnya. Sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah . Lipatan nasolabial sisi yang lumpuh mendatar. Jika kedua sudut mulut disuruh diangkat,maka sudut mulut yang sehat saja yang dapat terangkat. otot wajah bagian dahi tidak menunjukkan kelemahan yang berarti. Juga tanda Bell (lagoftalmus dan elevasi bola mata) tidak dapat diJumpai. ciri kelumpuhan facialis UMN ini dapat dimengerti, karena subdivisai inti facialis yang mengurusi otot wajah atas alis mendapat inervasi kortikal secara bilateral. Sedangkan subdivisi inti facialis yang mengurusi otot wajah lainnya hanya mendapatkan inervasi kortikal secara kontralateral saja.
Pada kerusakan di lobus frontalis otot wajah sisi kontralateral masih dapat digerakkan secara volunteer, tetapi tidak ikut bergerak jika ketawa atau merengut. Perubahan raut muka pada keadaan emosional justru masih bisa timbul apabila korteks motorik primer rusak. Maka, gerakan otot wajah yang timbul pada keadaan emosional (psikomotorik) sangat mungkin diatur oleh daerah korteks di lobus frontalis. Sedangkan gerakan otot wajah volunter diurus oleh korteks piramidalis.
Lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideum dan pada cabang-cabang tepi nervus facialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens bisa merusak akar nevus facialis, inti nervus abducen dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis facialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Proses patologik di sekitar meatus akustikus internus melibatkan nervus facialis dan akustikus. Maka dalam hal tersebut, paralisis facialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 anterior lidah).
OBAT ANTIEPILEPSI DAN ANTIKONVULSI
Sebenarnya tujuan pengobatan epilepsi adalah untuk mencegah timbulnya bangkitan tanpa mengganggu kapasitas fisik dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa dan pengobatan psikososial (Mansjoer dkk, 2008).
1. Pengobatan Medikamentosa
Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan penyebaran kejang. Namun, umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung bersifat membatasi proses penyebaran daripada mencegah proses inisiasi. Dengan demikian secara umum ada dua mekanisme kerja, yaitu: peningkatan inhibisi (GABA-ergik) dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi konduksi ion; Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivasi neurotransmitor, meliputi:
a. Inhibisi kanal Na+ pada membrane sel akson
Contoh : fenitoin dan karbamazepin (pada dosis rendah), fenobarbital dan asam valproat (dosis tinggi), lamotrigin, topiramat, zonisamid.
b. Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron thalamus (yang berperan sebagai pacemaker untuk membangkitkan cetusan listrik umum di korteks)
Contoh : etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam.
c. Peningkatan inhibisi GABA
1. Langsung pada kompleks GABA
Contoh : benzodiazepin, barbiturat
2. Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake dan metabolisme GABA
Contoh: tiagabin, vigabatrin, asam valproat, gabapentin
d. Penurunan eksitasi glutamat, melalui:
1. Blok reseptor NMDA, misalnya lamotrigin
2. Blok reseptor AMPA, misalnya fenobarbital, topiremat.
(Gunawan dkk, 2007)
Berikut ini terdapat obat pilihan berdasarkan jenis bangkitan.
No | JENIS BANGKITAN | JENIS OBAT |
1 | Fokal/parsial | |
| Sederhana | Karbamazapin, fenobarbital, fenitoin |
| Kompleks | Karbamazapin, fenobarbital, fenitoin, asam valproat |
| Tonik-Klonik umum sekarang | Karbamazapin, fenobarbital, fenitoin, asam valproat |
2 | Umum | |
| Tonik-klonik | Karbamazapin, fenobarbital, fenitoin, asam valproat |
| Mioklonik | Klonazepam, asam valproat |
| Absens/petit mal | Klonazepam, asam valproat |
2. Pengobatan Psikososial
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebgaian besar akan terbebas dari bangkita. Pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya sehingga dapat bebas dari bangkitan dan dapat belajar, bekerja, bernasyarakat secara normal.
(Mansjoer dkk, 2008)
REFERENSI
Gunawan, Sulistia Gen dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, Arif dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
REFERENSI
Mardjono, Mahar dan Priguna Sidharta. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: DIAN Rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar