Cari Blog Ini

Laman

Selasa, 31 Mei 2011

Urologi

ANATOMI TESTIS
Testis merupakan organ yang berperan dalam proses reproduksi dan hormonal. Fungsi utama dari testis adalah memproduksi sperma dan hormon  androgen terutama testosteron. Sperma dibentuk di dalam tubulus seminiferus yang memiliki 2 jenis sel yaitu sel sertoli dan sel spermatogenik. Diantara tubulus seminiferus inilah terdapat jaringan  stroma tempat dimana sel leydig berada. 

Testis normal berukuran rata-rata 4×3×2,5 cm. Organ ini diliputi oleh suatu lapisan yang disebut dengan tunika albuginea, oleh suatu septa-septa jaringan ikat testis dibagi menjadi 250 lobus. Pada bagian anterior dan lateral testis dibungkus oleh suatu lapisan serosa yang disebut dengan tunika vaginalis yang meneruskan diri menjadi lapisan parietal di posterolateral testis, lapisan ini langsung berhubungan dengan kulit skrotum. Di sebelah posterolateral testis berhubungan dengan epididimis, terutama pada pool atas dan bawahnya. Testis terdapat di dalam skrotum yang merupakan lapisan kulit yang tidak rata dimana di bawahnya terdapat suatu lapisan yang disebut tunika dartos yang terdiri dari serabut-serabut otot.
Scrotum ini membungkus funniculus spermaticus, epididmis, dan testis. Lapisan ini sangat tipis dan tanpa jaringan lemak di subcutis, karena untuk pembentukan sperma butuh suhu lebih rendah dibandingkan suhu tubuh. Funniculus spermaticus merupakan alat penggantung sperma yang berjalan di dalam canalis inguinalis dan keluar melalui annulus inguinalis superficialis. Funniculus ini merupakan kelanjutan dari musculus obliquus externus abdominis dan berisi vas defferens yang merupakan saluran yang menghantarkan sperma dari ductus epididimis menuju ductus ejakulatorius, processus vaginalis yang merupakan kelanjutan dari peritoneum yang akan berakhir sebagai tunica vaginalis, vasa darah arteri dan vena, plexus pampiniformis, dan otot kremaster yang merupakan kelanjutan dari musculus obliquus internus abdominis.

Refferensi :
Rupp, Timothy J and Mark Zwanger. 2010. Testicular Torsion. http;//emedicine.medscape.com
Buku Ajar Ilmu Bedah 
Smith’s Urology 


PENYAKIT GINJAL KRONIK
Penyakit ginjal kronik merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan funsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2007). Menurut Nationel Kidney Foundation 2002, penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal selama > 3 bl,yg ditunjukkan dg adanya abnormalitas struktur atau fungsi ginjal, dg atau    tanpa penurunan GFR, yg mempunyai manifestasi abnormalitas komposisi darah atau urin, atau  abnormalitas dalam imaging test. Atau GFR < 60 ml / menit selama > 3 bulan (Putranto, 2010).
Pada stadium dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) masih normal atau malah meningkta. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struksural dan fungsional nefron yang masih tersisa sehingga mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti peningktana tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Nefron yang masih tersisa tersebut mengalami maladaptasi berupa sclerosis sehingga terjadi penurunan fungsi dari nefron tersebut secara progresif yang ditandai dengan peningktan kadar urea dan kretinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningktana kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nocturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi dan gangguan keseimbangan air. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai stadium gagal ginjal (Suwitra, 2007).
            Adapun klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit antara lain:
Derajat
Penjelasan
LFG (ml/mn/1,73m2)
1
2
3
4
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat
Gagal ginjal
≥ 90
60-89
30-59
15-29
<15 atau dialisis
(Suwitra, 2007).
Pengobatan gagal ginjal kronik dibagi dalam dua tahap: penanganan konservatif bila timbul azotemia dan terapi penggantian ginjal (dialisis atau transplantasi ginjal atau keduanya) jika penanganan konservatif gagal (Wilson, 2006).

Referensi:
Putranto, Wachid. 2010. Penyakit Ginjal Kronik. Unpublished Paper Presented At Kuliah Blok Urogenital Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Suwitra, Ketut. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor: Sudoyo, Aru W, dkk. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, PP: 570-3
Wilson, Lorraine M. 2006. Gangguan Sistem Ginjal. Dalam: Patofisiologi Price dan Wilson, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Editor: Hartanto, Huriawati, dkk. Jakarta: EGC, PP: 865-1002


Tidak ada komentar:

Posting Komentar