Cari Blog Ini

Laman

Kamis, 26 Mei 2011

Hipersensitifitas


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam kehidupan sehari-hari, sering dijumpai permasalahan-permasalahan alergi, seperti alergi terhadap makanan, asma, bahkan syok anafilaksis. Hal-hal tersbut sering terjadi bisa disebabkan ketidaktahuan masyarakat mengenai bahan-bahan yang berpotensi menjadi alergen terhadap tubuh kita. Tidak jarang dijumpai, dalam satu keluarga memiliki sifat yang alergi terhadap jenis makanan yang sama, ada pula yang sama-sama memiliki alergi tetapai reaksinya berbeda dan jenisnya pun berbeda. Dari hal tersebut bisa dikatakan alergi memang berhubungan dengan genetik sesorang. Tetapi pewarisan sifat tersebut memang memiliki tingkat resiko yang berbeda-beda, tergantung jumlah dari pewarisnya.

Skenario
Seorang anak bernama Siti, berusia 10 tahun, sering menderita biduren/kaligata. Keluhan biduren ini biasanya timbul setelah makan udang. Menurut ibunya, beberapa hari setelah lahir dulu pipinya timbul eczema, yang berwarna kemerahan dan selalu digaruk-garuk. Pada waktu bayi selain mendapat ASI juga mendapat susu formula. Sejak kecil, sehabis makan udang dan kepiting langsung keluar bentol-bentol merah terasa gatal dan juga disertai kolik abdomen dan diare.
Selanjutnya Siti tidak berani lagi makan udang, telur, dan semua ikan laut. Setelah diperiksakan ke dokter, dianjurkan pemeriksaan laboratorium darah lengkap dengan hasil Hb: 13,2gr/dL; Leukosit 7,5x103; AT: 337x103; hitung jenis leukosit eosinofilia relative. Selanjutnya dokter memberikan obat dan dianjurkan dilakukan pemeriksaan skin prick test.
Ibunya Siti sering pilek, hidung gatal, bersin-bersin dan juga menderita asma, dengan gejala sesak nafas dan mengi. Pada waktu hamil ibunya Siti sudah khawatir kalau asmanya menurun pada anaknya. Mereka berkonsultasi kepada dokter mengenai hal tersebut. Ibunya pernah berobat ke praktek dokter diberi suntikan dan syok. Dokter berusaha menangani syoknya tersebut, tetapi tidak membaik dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit.

Hipotesis
Siti mengalami reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diturunkan dari orang tuanya.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan reaksi hipersensitifitas?
2.      Bagaimana mekanisme rekasi hipersensitivitas dan klasifikasinya?
3.      Bahan-bahan apa saja yang bisa menimbulkan reaksi alergi?
4.      Bagaimana mekanisme terjadinya tanda dan gejala yang timbul pada scenario ini?
5.      Bagaimana mekanisme pewarisan reaksi hipersensitivitas?
6.      Apakah fungsi dari tes lab yang dilakukan dan test-test lain yang diperlukan? Bagaimana interpretasi hasilnya?
7.      Bagaimana manifestasi klinis dari reaksi alergi?
8.      Apa yang dimaksud dengan syok anafilaktik?
9.      Apakah ada kemungkinan pasien sembuh dari alergi?
10.  Penatalaksanaan apa yang tepat bagi pasien khususnya pada skenario ini?

C.    TUJUAN
1.      Memahami macam-macam reaksi hipersensitivitas dan mekanismenya.
2.      Mengetahui macam-macam alergen dan efeknya.
3.      Memahami faktor-faktor yang berperan dalam pewarisan alergi.
4.      Mengetahui test-test yang diperlukan dalam mendiagnosis alergi serta interpretasinya.
5.      Mengetahui pencegahan dan penatalaksanaan alergi.
  
D.    MANFAAT
1.      Mahasiswa dapat memahami dan menangani gejala-gejal yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas khususnya tipe 1.
2.      Mahasiswa memahami test-test yang menunjukkan reaksi alergi dan hasilnya.
3.      Mahasiswa dapat mencegah timbulnya alergi baik setelah terpajan maupun sebelum (dilihat dari genetik orang tua).

BAB II
STUDI PUSTAKA

A.    REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas merupakan salah satu jenis dari imunopatologi yang terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan tubuh (Diding, 2009). Reaksi hipersensitivitas terdiri dari 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu:
1.      Tipe 1
Disebut juga reaksi cepat atau reaksi alergi. Reaksi timbul setelah ada paparan dengan bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih sehingga terbentuk Ig E. Penyakit yang terjadi diantaranya Asma bronkiale, Rinitis dan Urtikaria, Syok anafilaktik, Dermatitis atopi (Redhono dan Guntur, 2009).        
2.      Tipe 2
Disebut juga reaksi sitotoksik (Redhono dan Guntur, 2009). Reaksi yang terjadi IgG atau IgM berikatan dengan antigen pada permukaan selà fagositosis sel  target atau lisis sel target oleh komplemen atau sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel bergantung antibody. Penyakitnya berupa anemia hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis, penyakit Goodpastur, pemfigus vulgaris (Kumar et. Al., 2007).
3.      Tipe 3
Disebut juga reaksi komplek imun (Redhono dan Guntur, 2009). Reaksi yang terjadi Kompleks antigen-antibodiàmengaktifkan kemplemen àmenarik perhatian neutrofil àpelepasan enzim lisosom , radikal bebas, oksigen, dan lain-lain. Penyakit yang terjadi seperti reaksi  Arthus, serum sickness, SLE, bentuk tertentu glomerulonefritis (Kumar et. Al., 2007).
4.      Tipe 4
Disebut juga reaksi lambat. Reaksi timbul lebih 24 jam setelah terpapar dengan antigen, yang timbul setelah respon sel T yang sudah disensitiasi MIF dan MAF  yang akhirnya menimbulkan kerusakan jaringan (Redhono dan Guntur, 2009). Limfosit T tersentisisasiàpelepasan sitokin dan sitotoksisitas yang diperantarai sel T (Kumar et. Al., 2007). Penyakit yang timbul seperti Reaksi Jones Mote, Hipersensitivitas kontak, Reaksi tuberculin, Reaksi granulomata (Redhono dan Guntur, 2009).

B.     ALERGI
Alergi merupakan reaksi hipersnsitivitas tipe I, dimana reaksinya diperantarai oleh IgE. Reaksi terjadinya alergi adalah sebagai berikut:
Alergen (antigen yang menyebabkan alergi) menembus Barrier I à ditangkap  sel makrofag, dendritik, kupfer (sebagai APC/Accessory Presenting Cell) à Dipresentasikan kepada sel T helper (APC menghasilkan reseptor HLA yang dipresentasikan ke sel CD4) à T helper berdiferensiasi menjadi Th2 à Dihasilkan IL-4, IL-13 à Aktivasi Limfosit B à Mengeluarkan IgE à Menempel pada sel mast, basofil à Alergen menepel secara spesifik à degranulasi sel à mengeluarkan mediator-mediator yang dapat menyebabkan reaksi alergi (Salimo dan Endang, 2009).
Reaksi ini menyebabkan gangguan local maupun sistemik (Kumar et. Al., 2007).
1.      Reaksi local, terjadi bila allergen terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, yaitu:
a.       Kulit (kontak) : Urtikaria, Eritema, Gatal
b.      Traktus gastrointestinal (Ingesti) : Diare
c.       Paru (Bronkokonstriksi) : Sesak nafas, Mengi
2.      Reaksi sistemik
Pajanan terhadap allergen dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik yang berakibat pada kegagalan sirkulasi dan berujung pada kematian segera. Reaksi ini disebut syok anafilaktik.
Kerja mediator-mediator sel mast dalam menimbulkan reaksi alergi yaitu:
1.      Infiltrasi Sel
Sitokin (misalnya TNF), Leukotrien B4, Faktor Kemotaksis eosinofil pada anafilaksis, Faktor Kemotaksis neutrofil pada anafilaksis, Faktor pengaktivasi trombosit.
2.      Vasoaktif (vasodilatasi, meningkatnya permeabelitas vaskuler)
Histamin, Faktor pengaktivasi trombosit, Leukotrien C4, D4, E4, Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, Prostaglandin D2.
3.      Spasme otot polos (salah satu efeknya adalah diare)
Leukotrien C4, D4, E4, Histamni, Prostaglandin, Faktor pengaktivasi trombosit.
4.      Peningkatan sekresi mukus
Histamin dan Prostaglandin D2.
Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi sepertinya dikendalikan secara genetik, dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi terlokalisasi (Kumar et. Al., 2007). Ada beberapa gen yang berkaitan dengan pewarisan alergi tersebut, diantarnya :

Lokasi di Kromosom
Gen
Peran Produk Gen pada Hipersensitivitas Tipe Segera
5q31


IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, GM-CSF
IL-4 dan IL-13 meningkatkan swicth IgE dan IL-5 menigkatkan pertumbuhan dan aktivasi eosinofil
5q32
Reseptor β2-adregenic
Mengatur kontraksi otot polos arteri dan bronkus
6p
MHC kelas II
Beberapa alel mengatur ketanggapan sel T terhadap alergen
6p21.3
TNF-α
Mediator inflamasi dari sel mastosit
11q13
Fcε-RI rantai β
Reseptor IgE pada sel mastosit
12q
Interferon γ
Melawan aksi IL-4
14q
TCR-α
??

Organ sasaran dari penyakit atopi dalam satu keluarga berbeda-beda, tetapi semuanya menunjukkan peningkatan kadar IgE yang jelas (Baratwidjaja, 2009; Kresno, 2007). Rasio penurunan genetik ini juga tergantung dari jumlah orang tuanya yang menderita.
Kejadian alergi pada anak-anaknya seringnya adalah alergi makanan. Hal ini disebabkan belum mampunya tubuh dalam mencerna makanan tersebut. Tidak semua alergi terhadap makanan tersebut menetap sampai dewasa karana seiring bertambahnya usia enzim untuk mencerna bahan makanan tertentu mulai bertambah. Alergi yang menetap tersebut biasanya dipengaruhi oleh sistem imun tubuh. Setiap orang akan memiliki reaksi alergi yang berbeda-beda meskipun jenis makanannya sama, begitu juga dengan orang yang sama dengan jenis makanan yang berbeda (Salimo dan Endang, 2009).
Bahan-bahan yang bisa menjadi alergen biasanya merupakan glikoprotein yang memiliki berat molekul antara 10 – 60 kDa (Salimo dan Endang, 2009). Jika berat molekul < 10 kDa, antigen tersebut tidak mampu menjembatani celah antara IgE yang berdekatan pada permukaan sel mast, dan bila > 60 k Da, tidak akan dengan mudahmelewati permukaan mukosa sehingga tidak akan menimbulkan reaksi alergi (Nelson, 2000). Sifat alergenitas tersebut dapat dikurangi dengan hidrolisis enzimatik atau dengan kombinasi hidrolisis, pemanasan, dan / atau ultrafiltrasi (Salimo dan Endang, 2009). Beberapa jenis bahan yang dapat menjadi allergen diantaranya protein (Serum, Vaksin), serbuk tumbuhan (Pollens), obat (penisilin, anestesi lokal, Sulfa, Kontras Ro), makanan (Kacang, Mkn. Laut, Telur, Susu), produk serangga (Tungau/dust mite), spora, dan rambut & bulu binatang (Redhono dan Guntur, 2009)
 (Rengganis dan Yunihastuti, 2006)

C.    URTIKARIA
Urtikaria atau bidur adalah reaksi vaskular kulit pada dermis bagian atas, biasanya sebentar, terdiri dari edema lokal yang disebabkan oleh dilatasi dan peningkatan permeabelitas kapiler, dengan pembentukan bentol (Dorland, 2006). Penyakit ini merupakan gangguan kulit yang lazim yang biasanya ditandai oleh berbagai ukuran benjolan lesi kulit (bilur atau merah), eritematosa, terlokalisasi atau menyeluruh, berbatas melingkar tegas tetapi kadang-kadang bergabung. Lesi dapat sangat gatal atau sedikit gatal. Bidur sendiri biasanya sembuh dalam 48 jam. Bila urtikaria menetap selama lebih dari 6 minggu, keadaannya betul-betul dianggap kronis (Nelson, 2000).
  
D.    ASMA
Asma dapat dipandang sebagai penyakit paru obstruktif (Nelson, 2000) dengan karakteristik obstruksi saluran nafas yang reversible, inflamasi saluran nafas, dan peninkatan respon saluran nafas terhadap berbagai rangsanganSundaru dan Sukamto, 2007). Asma sering terjadi pada orang yang alergik. Pada orang seperti ini reaksi alergen –reagin terjadi di dalam bronkiolus paru. Di tempat ini, produk paling penting dilepaskan dari sel mast yang menimbulkan spasme otot polos bronkiolus. Akibatnya, orang tersebut mengalami kesukaran bernafas sampai produk reaktif dari reaksi alergik dihilangkan.

E.     SYOK ANAFILAKSIS
Syok merupakan suatu keadaan gangguan metabolik dan hemodinamik yang sangat berat yang ditandai dengan kegagalan sirkulasi untuk mempertahankan perfusi organ vital yang adekuat (Dorland, 2006). Sedangkan syok anafilaksis merupakan syok yang terjadi secara menyeluruh (sistemik). Syok anafilaktik dapat terjadi bila:
-          Alergen masuk ke dalam darah, seperti pada pemberian antibiotic penisilin secara parenteral dan sengatan lebah.
-          Mediator kimia yang dihasilkan sel mast mendapat akses ke dalam darah.
-          Pengeluaran zat-zat kimia dalam jumlah sangat besar dari dalam tempat yang terlokalisasi ke sirkulasi.
(Sherwood, 2001)


BAB III
PEMBAHASAN

Dalam skenario disebutkan ada seorang pasien berusia 10 tahun menderita biduran atau bisa disebut urtikaria. Urtikaria sebenarnya timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik dan menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilkatis. Histamin yang dilepas setempat akan menimbulkan vasodilatasi yang menyebabkan red flare (kemerahan) dan peningkatan permeabelitas kapiler setempat sehingga dalam beberapa menit akan terjadi pembengkakan setempat yang berbatas jelas (Guyton and Hall, 2008). Dari anamnesis kepada ibu pasien, didapatkan data bahwa reaksi ini timbul setelah makan udang atau makanan laut lainnya. Reaksi lain yang timbul adalah bentol-bentol terasa gatal dan juga disertai kolik abdomen disertai diare. Rasa gatal tersebut sebenarnya efek dari histamin yang memberikan rangsangan di ujung saraf sensoris. Sedangkan kolik abdomen dan diare disebabkan oleh mediator-mediator yang dikeluarkan sel mast yang menibulkan kontraksi di usus. Dari gejala yang nampak awal ini bisa dicurigai ini ada hubungannya dengan imunopatologi.
Ada 3 jenis imunopatologi, yaitu autoimun, imunodefisiensi, dan hipersensitifitas (Diding, 2009). Autoimun bisa ditandai dengan banyaknya jaringan yang rusak yang diakibatkan oleh serangan imun itu sendiri. Pasien ini tidak memiliki gejala tersebut sehingga bisa dieliminasi. Lalu imunodefisiensi biasnya ditandai dengan seringnya terpapar penyakit karena sistem imun yang sedikit sehingga tidak bisa memprotek tubuh dari serangan agen infeksiosa. Pasien tersebut juga tidak menampakkan gejala tersebut. Yang terakhir adalah hipersensitifitas dimana reaksi imun tubuh yang berlebih. Salah satu tanda reaksi ini adalah alergi. Pasien tersebut ternyata memiliki gejala tersebut. Oleh karena itu bisa dicurigai pasien tersebut mengalami hipersensitifitas. Namun hipersensitifitas tipe berapa belum dapat dipastikan.
Melihat riwayat terdahulu dari pasien yaitu beberapa hari setelah lahir dulu pipinya timbul eczem, yaitu dermatitis papulovaskuler yang gatal yang timbul sebagai reaksi terhadap banyak agen endogen dan endogen (Dorland, 2006), anak tersebut memiliki reaksi alergi yang diturunkan atau bisa disebut atopi. Dari riwayat keluarganya, ibu pasien sering pilek, hidung gatal, bersin-bersin dan juga menderita asma. Gejala-gejala tersebut memang gejala umum dari reaksi alergi. Seseorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila orang tersebut bereaksi dengan antigen spesifik yang memicu terbentuknya antibodi tersebut pada pertama kali. Pda asma, Antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat dalam interstisial paru yang berhubungna erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Jika antigen dan antibodi bergabung terjadi pelepasan mediator-mediator yang menyebabkan edema lokal pada dinding bronkiolus kecil maupun sekresi mukus yang kental ke dalam lumen bronkiolus dan spasme oot polos bronkiolus sehingga tahanan saluran nafas meningkat (Nelson, 2000).
Reaksi alergi dapat menurun termasuk asma, namun memiliki rasio yang berbeda tergantung dari jumlah orang tuanya yang menderita. Jika hanya salah orang tua yang mengidap, kemungkinan terjadi pada anak sekitar 20 – 40%, sedangkan apabila keduanya menderita kemungkinan terjadi 50 – 80%. Seseorang anak yang kedua orang tuanya tidak menderita sama sekali juga bisa terkena alergi, tetapi hanya 5 – 15% (Lestari, 2008). Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa reaksi yang timbul pada anak dan orang tua berbeda. Sebenarnya setiap reaksi yang terjadi ada gen tersendiri yang mengatur. Kemudian gen manakah yang mendominasi, itulah yang akan menimbulkan reaksi. Mungkin saat ini anak tersebut belum menampakkan gejala asma, tapi bisa saja ketika dewasa nanti baru menampakkan gejala tersebut atau bisa jadi tidak menderita asma sama sekali.
Selain reaksi-reaksi tersebut, ibu pasien pernah mengalami syok setelah diberi suntikan. Reaksi seperti ini biasa disebut dengan syok anafilaksis. Bila suatu alergen spesifik disuntikkan ke dalam sirkulasi, maka alergen tersebut dapat bereaksi dengan basofil dalam darah dan sel mast pada jaringan yang terletak tepat di luar pembuluh darah kecil jika basofil dan sel mast tersebut telah disensitasi pleh perlekatan reagin IgE. Oleh karena itu, terjadilah reaksi alergi yang luas di seluruh sistem pembuluh darah dan jaringan yang berkaitan erat. Histamin yang dilepaskan menyebabkan vasodilatasi pembuluh secara menyeluruh peningkatan permeabelitas kapiler sehingga terjadi  pergeseran massif cairan plasma ke dalam ruang interstisium. Ini menyebabkan hipotensi berat dan terjadilah syok sirkulasi. Selain itu terjadi pula konstriksi bronkiolus yang disebabkan oleh leukotrien yang dikeluarkan yang dapat menimbulkan kegagalan pernafasan. Penderita tercekik karena tidak dapat melewatkan udara pada saluran nafas yang menyempit (Guyton, 2008, Sherwood, 2001).
Untuk mengetahui reaksi hipersensitifitas tipe berapa sebagai diagnosis banding diperlukan beberapa macam test lab. Pemeriksaan hemoglobin dilakukan untuk mengetahui apakah pasien mengalami hipersensitifitas tipe II, yaitu anemia hemolitik, ditandai dengan kadar hemoglobin yang rendah. Pemeriksaan lekosit digunakan untuk mengetahui apakah terdapat sistem imun yang berlebih (sistem makrofag dan fagosit) yang menandakan reaksi hipersensitifitas tipe III (autoimun). Ternyata dari pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, pasien normal. Lalu pada hitung jenis leukosit terdapat eosinofilia relatif, hal ini menandakan pasien tersebut memiliki alergi. Untuk pemeriksaan eosinofilia dapat pula dilakukan hemogram. Jumlah eosinofilia normal adalah antara 250 – 700 sel/mm3. Uji in-vitro lainnya yang dapat dilakukan yaitu uji radioallergosorbent (URAS) untuk menentukan kadar IgE spesifik-antigen dalam serum, dimana untuk pasien 10 tahun kadar normalnya adalah 0,3 – 2152 IU/ml; uji pelepasan histamin leukosit untuk mendeteksi antibodi IgE spesifik yang melekat pada permukaan basofil darah perifer dengan mengukur jumlah histamin yang dilepaskan dalam responnya terhadap tantangan antigen (Nelson, 2000); RAST (Radio Allergo Sorbent Assay); dan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent assay).
Selain uji in-vitro, bisa dilakukan uji in vivo, yaitu skin test, yaitu setiap test dengan memberikan antigen pada kulit untuk mengamati respon pasien. Test ini berfungsi menentukan imunitas terhadap penyakit menular, identifikasi alergen yang menyebabkan reaksi alergi, dan menilai kemampuan tubuh dalam meningkatkan imunitas seluler (Dorland, 2006). Ada 4 jenis skin test berdasarkan tekniknya, yaitu secara goresan, tusukan (Skin Prick Test, intradermal, dan tempel (Skin Patch test). Untuk Skin Prick test hanya untuk menentukan alergi yang disebabkan ingestan (obat-obatan dan makanan) (Nelson, 2000). Sedangkan Skin Patch Test untuk menentukan adanya alergi kontak (Dermatitis kontak à hipersensitivitas tipe IV). Ada juga test provokasi yaitu tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada pasien hingga timbul gejala. Tes ini meliputi tes provokasi nasal dan tes provokasi bronchial (Davies, 2003 ; Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009)
Sampai saat ini belum ada bukti-bukti klinis yang menjelaskan penyembuhan alergi secara total. Alergi ini hanya dapat dicegah atau dikontrol. Bagi ibu menyusui dengan anak resiko alergi bisa menghindari susu sapi, telur, ikan, kacang-kacangan termasuk kacang mete. Sedangkan untuk penanganannya bisa dilakukan eliminasi makanan secara ketat, pendidikan kepada orang tua tentang label makanan, konseling diet, menyediakan pengganti makanan untuk menghindari alergen, susu hidrolisat atau berbahan dasar asam amino dengan formula lengkap untuk bayi dengan alergi susu sapi (Salimo dan Endang, 2009). Untuk terapi medikamentosa dapat diberikan antihistamin pada reaksi hipersensitivitas makanan ringan, kortikosteroid pada reaksi sedang, dan epinefrin atau adrenalin pada serangan anafilaksis (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009).


BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A.    SIMPULAN
1.      Gejala-gejala yang timbul kepada anak tersebut disebabkan efek-efek dari mediator yang dilepaskan sel mast yang menimbulkan reaksi alergi.
2.      Alergi dapat diturunkan, tetapi reaksi yang ditimbulkan tidak selalu sama, tergantung dari gen yang mendominasi untuk reaksi tersebut.
3.      Glikoprotein dengan berat molekul 10 – 60 kDa dapat menjadi alergen, tetapi sifat alergenitas tersebut dapat dikurangi.
4.      Test lab yang dilakukan merupakan tahapan-tahapan untuk mengetahui tipe reaksi hipersensitifitas yang diderta.
5.      Alergi dapat dicegah dan dikontrol tetapi belum ada EBM (Evidance Based Medicine) untuk menyembuhkan alergi secara total.

B.     SARAN
1.      Sebelum diberikan suatu obat perlu dialakukan test terhadap alergi untuk mencegah syok anafilaksis.
2.      Sebaiknya menyeleksi jenis-jenis makanan yang dapat menimbulkan reaksi alergi bagi diri sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. http://www.idai.or.id/hottopics/detil.asp?q=83. Diakses tanggal 26 April 2009.
 Baratawidjaja, Karnen Garna. 2009. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
 Davies, Robert J. 2003. Bimbingan Dokter pada Alergi. Jakarta : Dian Rakyat.
 Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland-Edisi 29. Jakarta: EGC.
 Guyton, Arthur C and John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
 Kresno, Siti Boedina. 2007. Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Kumar, Vinay et. Al. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Volume I Edisi VII. Jakarta: EGC.
 Lestari, Endang Dewi. 2008. Nutrition Management of Food Allergy in Children. Unpublished Paper Presented At One Day Simposium "Children’s Allergy in Clinical Perspective" Fakultas Kedoketran UNS.
 Nelson, Waldo et. Al. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC.
 Prasetyo, Diding Heri. 2009. Dasar-Dasar Imunologi. Unpublished Paper Presented At Seminar Kesehatan "Basic Immunology and Its Clinical Applications" LKMI Fakultas Kedokteran UNS.
Redhono, Dhani dan A. Guntur H. 2009. Pengantar Imunologi. Unpublished Paper Presented At Kuliah Blok Imunologi Fakultas Kedokteran UNS.
 Rengganis, Iris dan Evy yunihastuti. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Salimo, Harsono dan Endang Dewi Lestari. 2009. Peran Nutrisi Terhadap Alergi Makanan Pada Anak. Unpublished Paper Presented At Seminar Kesehatan "Basic Immunology and Its Clinical Applications" LKMI Fakultas Kedokteran UNS.
 Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC.
 Sundaru, Haru dan Sukamto. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar